Bus Kota
Setelah pulang sekolah siang itu, seperti biasa aku sedang menunggu bus di Sarinah. Selain menumpang teman, bus kota memang menjadi pilihan terbaik bagi anak kost seperti aku. Tak sabar juga rasanya menunggu kendaraan umum ini. Entah mengapa, aku selalu mempunyai perasaan bahwa bus bila kutunggu akan muncul setelah waktu yang lama, namun bila bus itu sedang tidak kutunggu, ia akan selalu muncul.
“Pancoran!! Pasar Minggu!!” Teriakan kenek bus itu memecah lamunanku. Itu dia bus yang kutunggu-tunggu. Aku segera bergegas berlari menuju bus itu. Namun sesampainya di pintu bus, kenek itu malah menghalangiku. “Pelajar tunggu bus lain saja!” hardiknya kasar. Bus pun berlalu meninggalkanku.
Dalam hati aku mendongkol juga. Begitulah memang perlakuan awak bus yang seringkali diterima oleh pelajar. Kelihatannya kalangan yang satu ini benar-benar musuh bagi mereka. Memang beberapa oknum pelajar suka mengganggu mereka, namun ‘kan hanya beberapa. Aku yakin aku tidak termasuk golongan yang beberapa itu. Mungkin mereka juga membenci pelajar karena ongkos yang dikenakan kepada pelajar sangat murah. Aku tidak tahu ini kesalahan si pelajar, awak bus atau pemerintah? Ada yang mengatakan ini kesalahan pelajar. Mereka seharusnya sadar harus membayar sesuai tarif umum (?). ada yang mengatakan ini kesalahan awak bus yang melanggar peraturan. Aku yakin orang yang mengatakan ini belum begitu paham tentang kehidupan awak bus yang nota bene harus membanting tulang untuk mencukupi kehidupan mereka yang pas-pasan. Namun memang sebenarnya ada benarnya juga pendapat ini. Adapula yang mengatakan ini kesalahan pemerintah yang memasang tarif semena-mena tanpa memberi subsidi kepada pengusaha bus ¾ masalahnya uang untuk subisidi itu sudah habis untuk membangun pabrik mobil, membuat pesawat dan membangun lahan peternakan di Jawa. Yang kena getahnya, ya jelas awak bus yang dikenakan setoran mencekik leher. Awak bus melampiaskannya pada pelajar. Jadi sekali lagi, siapa yang salah?
Bus lain datang. Beruntung kali ini mengijinkan aku masuk. Segera kucari kursi yang strategis. Aku pun mendaratkan tubuhku di kuris plastik PVC bus itu. Kursi yang sudah pecah sana-sini dan dipenuhi oleh coretan tangan-tangan jahil dan tak bertanggung jawab. Coretan manusia-manusia yang (mungkin) merasa tidak memiliki masa depan lagi. Baru saja aku ingin membuka jendela, sesuatu yang akhirnya kuurungkan karena kenyataan bahwa kaca jendela bus itu sudah pecah sana-sini, bus sudah berjalan kembali. Membawa aku, membawa penumpang ke tujuan mereka.
“Cring… cring!!” Bunyi uang logam di tangan si Kenek. Tanda penumpang baru harus membayar ongkosnya. Tiba giliranku membayar. Kuberi ongkos sesuai peraturan.
“Nopek lagi! Kurang nih!” si Kenek membentakku.
“Saya pelajar, bang!” aku membela diri.
“Emang gue peduli? Udah bayar aja atau turun!”
melihat bus sedang berada di daerah yang cukup terkenal kriminalitasnya, aku pun terpaksa menurutinya. Kuberi kenek itu tambahan sesuai keinginannya. Ia pun berlalu. Kemudian kupandangi sekelilingku. Nampaknya tidak ada yang peduli dengan ketidakadilan yang kuterima ini, kecuali satu orang bapak.
“Kenapa tadi dibayar, dik?” si Bapak bertanya kepadaku.
“Kepaksa, Pak. Daerahnya bahaya gini,” jawabku tak bergairah.
“Harusnya sih nggak usah tadi,” tukasnya sebelum ia kembali ke Pos Kota di tangannya.
Aku sempat merasa panas juga karena sikapnya yang hanya berani menukasku ketika aku sudah keluar dari masalah tadi. Sementara sewaktu aku masih dalam masalah ia diam saja.
Kudengar kembali suara cempreng si Kenek. Kelihatannya ada pelajar lain yang mengalami ketidakadilan. Seperti biasa, tidak ada yang peduli sekarang. Nanti, setelah si pelajar membayar lebih barulah sang pahlawan-pahlawan kesiangan itu bereaksi.
Bus berhenti tiba-tiba. Semua penumpang cukup kaget dan terlempar. Ternyata bus hanya ingin menaikkan satu penumpang yang dengan anggun dan enaknya menyetop bus di tempat yang tidak seharusnya. Sebegitu parahkah mental awak kendaraan umum Indonesia?
Di belakang penumpang itu, membuntut seorang pengamen kecil. Kutaksir umurnya baru sekitar 7 tahun. Mengapa kau ada di sini dik? Bagaimana dengan sekolahmu? Namun ia takkan dapat membaca pikiranku. Dimainkannya alat musik buatannya sendiri, sebuah tutup botol bekas yang dipakukan ke kayu. Ia memperdengarkan suaranya.
Setelah sajian singkatnya usai, ia menyodorkan sebuah bekas kantong permen ke setiap penumpang. Ironis, hanya beberapa penumpang yang memberinya uang. Ironis, kelihatannya si kenek bus tidak senang dengan keberadaannya. Ironis, sang kenek meminta “uang konser” sebelum ia turun.
Beberapa penumpang baru masuk ke dalam bus ini. Bus pun menjadi sangat penuh. Sudah tidak ada ruang gerak lagi bagi para penumpang kini. Semakin pengap pula rasanya bus ini. Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, bagaimana bisa bus menampung orang yang begitu banyak. Dan yang lebih hebat lagi kelihatannya si kenek masih ingin memasukkan lebih banyak penumpang lagi.
Beberapa penumpang yang tadi merokok dengan sadar mematikan rokoknya. Namun beberapa perokok masih tetap “bertoleransi” untuk membagikan asap rokoknya dengan penumpang lainnya. Napas terasa semakin sesak pula dengan hadiah dari para perokok ini.
Aku mulai merasa mengantuk. Kulihat beberapa penumpang lainnya juga merasa sepertiku. Kulihat seorang ibu yang tidak kebagian kursi bahkan sudah seperti tidur berdiri. Aku pun tak mampu menahan kantukku. Kesadaranku pun sirna.
Entah sudah berapa lama aku tertidur ketika mendadak aku terbangun karena rem mendadak dan ribut-ribut dari satu sudut bus. Kulihat ibu tadi berteriak-teriak, “Copet! Copet!” teriaknya sambil menuding seorang pemuda tanggung. Ternyata ia telah menjadi korban pencopet yang kebetulan tertangkap.
Apa yang kutakuti terjadi. Penumpang bus segera menggiring si pencopet keluar, dan dalam beberapa detik saja sang pencopet itu telah merasakan puluhan pukulan. Keributan itu mengundang orang-orang sekitar yang dengan senang hati tampak ikut menghadiahkan pukulan dan tendangan ke badan pencopet yang kian menjadi bulan-bulanan itu. Beberapa orang tampak berusaha menenangkan massa yang sudah menggila. Kulihat ibu yang menjadi korban pencopetan itu termasuk salah satunya. Namun kelihatannya usaha mereka sia-sia saja. Pikiranku pun kembali melayang, “bila si ibu saja tidak mau menggebukinya, mengapa mereka yang tidak tahu apa-apa berhak menjadi hakim?”
Baru lima menit kemudian (Bagiku. Entah berapa abad bagi si pencopet.) aparat mulai muncul. Massa segera menyebar dan berlalu. Meninggalkan si pencopet. Meninggalkan si terhina. Meninggalkan manusia yang mereka anggap binatang. Mendadak kurasakan suatu perasaan di hatiku. Antara iba dan merasa puas melihat si pencopet. Kusadari ia butuh pertolongan, namun aku pun tidak mau menolongnya. Aku tidak lebih baik dari massa yang memukulinya. Mungkin malah lebih buruk. Kemelut dalam hatiku kembali bergejolak. Hati kecilku mengatakan bahwa aku tidak lebih baik dari si pencopet. Tidak lebih baik pula dari para pengeroyok. Lebih kejam dari binatang. Kusadari kebenaran dari hal itu. Namun aku memilih lebih untuk kembali ke bus. Mungkin aku memang seperti orang lainnya. Yang munafik. Yang hanya bisa berkata “jangan main hakim sendiri” namun di balik kata-kata itu dia-lah si hakim aspal itu.
Di dalam bus kulihat penumpang lainnya bersikap biasa-biasa saja. Seperti tidak ada yang baru saja terjadi. Mungkin bagi mereka inilah kehidupan yang biasa. Tanpa pencopet yang bisa digebuki, ini bukanlah hidup. Sayup-sayup aku mendengar percakapan dua orang dibelakangku. “Mestinya tadi gue lebih keras nggebuk bangsat itu! Biar mampus sekalian!”
Kurasakan tubuhku terhenyak mendengarnya. Mungkin orang-orang lain memperhatikanku, mungkin juga tidak. Tapi yang pasti kedua orang tadi menyadarinya. Mata mereka nampak menyelidik. Mata orang yang baru saja hampir membunuh dan ingin benar-benar melakukannya sekarang.
“Loe mau mbela copet gila itu?” tanya salah satunya padaku.
Kurasakan jantungku berdetak semakin cepat. “Tidak, bang. Tidak.” Hanya itu yang dapat meluncur dari bibirku.
“Bagus, loe ta’u ‘kan apa yang bakal gue bikin sampe loe bela bangsat itu!” hardiknya sambil berdiri dan turun dari bus itu. Kawannya mengikutinya.
Kulihat tatapan penumpang-penumpang lainnya tertuju padaku. Tatapan sinis. Tatapan yang sama dengan tatapan mereka pada si pencopet. Tatapan meremehkan.
Aku mulai merasa tidak enak. Akhirnya kuputuskan untuk tidak memperdulikannya dan kembali ke Inspirath yang ada di tanganku. Mulai kupikirkan ide untuk menulis artikel di majalah ini.
Mendadak pemuda berpakaian lusuh yang duduk di kursi depanku berdiri. Aku sempat binging juga melihatnya, namun kemudian kusadari apa tujuannya. Seorang ibu berbadan dua mengambil alih kursinya. Dalam hati kurasa kagum pada pemuda itu. Tak kusangka masih ada juga orang berhati mulia di Jakarta ini. Terlebih dengan dandanannya yang lusuh dan seringkali dihubung-hubungkan dengan kaum preman dan kaum terbuang di metropolitan. Namun tanpa kusengaja kulihat juga tatapan beberapa penumpang terhadap pemuda itu. Tatapan sinis itu lagi. Tatapan meremehkan. Semakin kusadari sulitnya menjadi orang baik di kota sepeeti ini.
Mendadak pikiranku buyar. Penyebabnya, teriakan seorang penjaja majalah. “Ayo, majalahnya mas! Masih baru! Di toko harganya delapan ribu rupiah. Di sini saya obral seribu lima ratus rupiah saja! Ayo majalah Gatranya! Inflasi membawa dampak pada pendapatan perusahaan-perusahaan, lihat di halaman sepuluh,” promosinya sambil membalik-balik halaman majalah di tangannya. Aku agak tertarik melihatnya karena seingatku ini majalah terbitan sebulan yang lalu. Benar saja! Sambil ia melaluiku aku sempat melihat nomor edisinya yang dihitamkan.
Namun si pedagang majalah “baru” ini kelihatannya tidak peduli. Tetap saja didagangkannya majalahnya itu dengan silat lidahnya. Mengingatkanku pada pedagang lainnya yang sering berdagang di bus dengan modal tambahan silat lidah juga. Entah mengapa mendadak aku teringat pada tukang obat, pakar silat lidah lainnya yang waktu kecil sering kutonton sebagai hiburan di kampung.
Halte tujuanku nampak di depan kaca pengemudi. Suara cempreng si kenek meneriakkan nama halte itu. Aku bangkit dan bergegas ke pintu. Bus melambat dan menepi, namun bukan berarti berhenti betul. Ketika sudah dalam kecepatan yang aman, aku melompat turun. “Kaki kiri dahulu baru kemudian kaki kanan,” pesan ayahku yang selalu kutururi.
Baru saja aku “mendarat:, bus sudah segera tancap gas. Membawa penumpang lainnya. Membawa angan-angan si kenek dan si supir. Membawa seorang pengamen. Membawa kekotoran duniawi.
“Depok! Pasar Minggu!” Kudengar kembali suara si kenek dalam langkahku menuju hari esok.