Wednesday, May 21, 2008

Human and the Unfinished Matters

We were taught to never give up. We were taught to aim our dreams as high as possible. And strive for it.

Sometimes we dream for something from a long time ago. And yet, maybe it began to materialize just now, after several months (or even years!) of struggling (not merely of waiting). What an enjoyable moments that is, the moment the dream started to materialize.

And then, we’re enjoying the moments of another dream. And we realize that maybe, just maybe, the two dreams will be colliding, each consuming the other. Which one should be sacrificed?

Or perhaps as my colleague said it: impossibles are what we do best. Perhaps we could blend the two dreams to complement each other. Perhaps. It will be a great thing to do, maybe even impossible. How to accomplish it? Yet, the reward will be extravagant.

Maybe we can conclude that the mutualism of the two dreams is yet another dream. Borrowing (and modifying) Goenawan Mohammad’s book title: human and the unfinished matters: our dreams.

Sunday, May 11, 2008

Tidak Menjadi Aedificium

Saya merasa beruntung sekali kejadian-kejadian ini terjadi dalam waktu yang relatif dekat: TGiF menjadikan book-sharing sebagai kegiatan wajib, saya mulai membaca ulang The Name of the Rose, saya berkesempatan mengikuti seminar dari Bu Lilis Setiadi dua kali, dan order The Key to The Name of the Rose dari Amazon tiba di Jakarta. Sepertinya satu sama lain tidak ada kaitan sama sekali? Bagi saya pribadi ada J.

Salah satu godaan untuk seorang book-lovers adalah untuk meraup sebanyak mungkin bacaan dan informasi (berujung di pengetahuan pribadi), karena memang bisa menjadi sebuah pelampiasan baginya. Seperti suatu ketagihan terselubung.

Akan tetapi, apakah pengetahuan itu kemudian bisa disebarkan? Atau malah koleksi informasi itu hanya menjadi pengetahuan pribadi—yang semakin lama semakin menjauhkan kita dari lingkungan lain (yang dengan mudahnya dianggap sebagai lingkungan yang kurang cerdas?). Akhirnya malah menjadi menara gading, atau menjadi aedificium dalam The Name of the Rose? Tempat dimana mereka-mereka yang menganggap sebagai pribadi yang lebih menumpuk segala informasi yang mereka miliki. Menjadi harta karun yang tidak boleh dibaca oleh sebarang friar. Dengan cara apa pula mereka menilai siapa yang layak membaca dan siapa yang tidak? Dan harga apa yang harus dibayar oleh friar yang boleh membaca koleksi manuskrip di aedificium tersebut? Hmm... sangat bertentangan dengan prinsip kemajuan bersama.

Seharusnya keberadaan program baru TGiF ini membantu saya—dan rekan-rekan di Kayu Putih untuk tidak lagi menjadi aedificium. Terlebih bagi saya yang juga berkesempatan melihat bagaimana “asyiknya” para intelek seperti Bu Lilis yang dapat membagikan yang diketahuinya—secara gratis, bahkan mau kami “tahan” dengan seribu pertanyaan. Tidak ada yang dirugikan, toh?

Kecuali kalau memang kita ingin tetap menjadi sebuah aedificium yang berdiri dengan kokohnya di tengah biara—dan menyimpan segudang pengetahuan hanya untuk diri kita. Omong-omong, Anda tahu apa yang akhirnya terjadi dengan aedificium dalam The Name of the Rose? Pada akhirnya aedificium tersebut terbakar—berikut manuskrip-manuskrip di dalamnya.