Friday, January 19, 2007

Blogging?

Seorang kolega saya pernah bertanya, untuk apa saya repot-repot menulis, membuat blog?

Mengapa saya membuat blog?

  • Menyebarkan ide saya. Kalaupun saat ini ide itu belum bermanfaat, dengan membuat blog pada akhirnya saya dapat membuat ide saya tersedia bagi orang lain. Kapanpun, bahkan ketika saya sudah tidak lagi di dunia ini. Ideas are bulletproof. Dan melalui blog saya dapat mencapai publik yang sebenarnya tidak saya kenal.
  • Belajar menulis dan berpikir. Tulisan merupakan budaya terbesar manusia. Sungguh disayangkan jika saya tidak mendayagunakan peninggalan terbesar ini untuk semakin mengembangkan diri saya.
  • Menjadi tempat saya berkaca. Dalam waktu-waktu tertentu saya membaca tulisan-tulisan di blog saya. Melaluinya saya dapat melihat bagaimana perjalanan hidup saya selama ini. Apa yang menjadi pergulatan saya, bagaimana saya dulu menyelesaikannya, apakah saya telah belajar dari pengalaman-pengalaman yang telah lalu.
  • Corong kebebasan berpendapat. Dalam pengalaman saya (terlebih di dunia jurnalisme), kebebasan berpendapat merupakan suatu kemewahan tersendiri (paling tidak dulu). Merupakan suatu pemborosan yang mubazir untuk tidak memanfaatkan kemewahan ini kini.
  • Mendapat masukan dari rekan-rekan yang lain. Terkadang dari orang-orang yang membaca tulisan saya memberikan masukan, baik secara langsung melalui blog atau tidak. Masukan mereka juga menjadi suatu harta bagi saya.
  • Bercerita. Kadang saya merasa lebih mudah dan dapat lebih detail menceritakan sesuatu melalui tulisan daripada melalui jalan lisan. Blog ini merupakan salah satu bentuknya.

People Should Not Be Afraid Of Their Governments

Salah satu quote paling kuat dalam film V for Vendetta. Akan tetapi, benar tidak ya, People should not be afraid of their governments. Governments should be afraid of their people?

Di negara yang pernah mengalami rezim diktatorisme, sepertinya kalimat itu sangat relevan. Memang benar, jikalau rakyat harus ketakutan pada pemerintahannya, pasti negara itu bukan negara yang sehat. Kita pernah merasakannya, bertahun-tahun malah.

Akan tetapi, apakah itu serta-merta berarti pemerintahan harus takut pada rakyatnya? Seperti persamaan matematis, jika bukan A maka pasti B? Sepertinya tidak. Negara ini juga menjadi contoh tentang pemerintahan yang takut pada rakyat. Setelah tahun-tahun dimana rakyat yang takut pada pemerintahan, Indonesia juga sempat melihat pemerintahan yang takut pada rakyat. Kapan? Ketika orang-orang yang dengan sedemikian brutal dan bebasnya menginjak-injak keadilan (dengan melabelkan dirinya menegakkan keadilan!). Apa yang dilakukan pemerintah (dan aparat)? Tidak ada. Mereka hanya terdiam.

Ketakutan pada rakyat? Ketakutan pada label melanggar HAM apabila menindak orang-orang beringas itu? Padahal dalam ketakutan mereka terhadap orang-orang itu, mereka justru membiarkan kondisi semakin buruk.

Yang terbaik memang bukan hubungan pemerintah dan rakyat yang dibangun atas rasa takut. Yang terbaik memang hubungan keduanya yang dilandasi oleh rasa percaya. Akan tetapi, dapatkah rasa percaya itu dibangun dalam kondisi sudah terbiasa untuk saling mengecewakan dan dikecewakan? Entah siapa yang dapat menjawabnya.

Pemimpin yang Menipu

Ketika suatu pekerjaan tim sudah jelas terlihat bergerak ke arah yang salah atau belum siap, dibutuhkan keberanian dan kejujuan seorang pemimpin untuk mengakui kesalahannya sebagai pemimpin. Dibutuhkan jiwa besarnya untuk mau melakukan backtracking.

Ketika ia malah memaksakan kehendaknya untuk menghantam terus pekerjaannya, ia sedang membawa dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya menuju kehancuran. Atau memang ia sudah kehilangan nuraninya hingga tega menipu orang-orang itu. Dan menipu dirinya sendiri?

Teater Koma dan Regenerasi Organisasi

Minggu lalu saya baru saja menonton pagelaran terbaru Teater Koma, Kunjungan Cinta, di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Wow, pertunjukan yang mengagumkan. Saya menikmati seluruh pertunjukan. Mulai dari akting Butet Kertaradjasa sebagai Ilak, Ratna Riantiarno sebagai Klari (atau lebih baik disebut Klara, namanya setelah kaya mendadak?), hingga dekor yang megah serta durasi pertunjukan yang cukup lama (4 jam!).

Akan tetapi, satu hal yang sangat saya perhatikan, saya merasa Teater Koma telah kembali menunjukkan sinarnya. Bukan merendahkan pertunjukan sebelumnya, Festival Topeng. Keduanya tetap bagus, akan tetapi sepertinya ada sesuatu yang hilang dalam Festival Topeng. Padahal naskahnya bukan naskah picisan (mana ada naskah pemenang Sayembara Naskah Dewan Kesenian Jakarta 2003 yang picisan, beda dengan naskah sinetron Indonesia). Sepertinya unsur sutradara memang memegang peranan penting. Ya, Festival Topeng memang dapat dikatakan ajang regenerasi sutradara Teater Koma. Tampuk sutradara yang biasanya dipegang oleh Nano Riantiartno, kali ini dipegang oleh Budi Ros, salah satu sesepuh Teater Koma lainnya.

Saat-saat itu memang menjadi masa-masa regenerasi Teater Koma. Setelah sebelumnya mementaskan Sampek-Engtay 2005 yang menjadi ajang regenerasi keaktoran (semua pemain dari angkatan 2005 Teater Koma), kali ini ajang regenerasi kesutradaraan. Akan tetapi, walaupun sebenarnya Budi Ros sudah berpengalaman menyutradarai pementasan, tetap saja pementasan Festival Topeng terasa kurang menggigit. Dialog-dialognya tetap tajam, tapi tetap saja ada sesuatu yang hilang—bukan guyonan yang jelas, karena sebenarnya bagi saya guyonan dalam naskah teater itu hanya merupakan tambahan, bukan esensi.

Sepertinya kendala seperti ini juga yang banyak dihadapi organisasi, termasuk organisasi Kristen. Seringkali kita terpaku pada regenerasi anggota—terutama ketika grafik keanggotaan menunjukkan kurva menurun. Perkara regenerasi pemimpin hanya dipikirkan ketika bulan-bulan terakhir menjelang pergantian kepengurusan. Padahal pemimpin bukanlah mereka yang lahir dalam waktu sebulan atau dua bulan. Pemimpin adalah mereka yang sudah dipersiapkan—dan mempersiapkan diri—sejak jauh hari. Kesalahan atau malah kegagalan mempersiapkan pemimpin berarti juga kegagalan dalam mewujudkan organisasi yang berkelanjutan. Pemimpin yang baik akan membawa suasana yang menarik anggota (dan calon anggota). Dari anggota ini akan dimunculkan calon-calon pemimpin lagi. Pemimpin yang buruk dapat menjauhkan anggota (dan calon anggota). Akibatnya, organisasi juga kehilangan calon pemimpin masa depan. Organisasi tanpa pemimpin? Sepertinya akan menjadi organisasi yang kehilangan arah dan menuju kebinasaan.

Bukanlah sesuatu yang haram bagi seorang pemimpin untuk mulai melirik calon-calon penggantinya sejak jauh-jauh hari. Dan mempersiapkannya sejauh jauh hari: dengan bimbingan, dengan pelatihan, dan dengan kepercayaan.

Tuesday, January 02, 2007

Hukuman

Seorang eks penguasa baru saja dieksekusi. Mati.

Sebagai hukuman atas segala kesalahannya selama ini? Hukum harus ditegakkan, hukuman harus diberikan!

Akan tetapi, apakah hukuman itu? Suatu produk kebudayaan manusia! Sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sendiri, dan tidak luput dari kesalahan. Apa kegunaan dari hukuman? Memberikan ganjaran dan mendidik manusia?

Sejauh mana seseorang dapat dihukum?

Ketika hukuman mati diberikan, apakah memang itulah ganjaran dan pendidikan yang tepat? Apakah bukan merupakan ganjalan dari segala kemarahan, kekecewaan, dendam, rasa muak manusia (yang menghukum) terhadap sang terhukum? Atau bahkan merupakan pelampiasan dari kemarahan dan kekecewaan itu? Pelampiasan dendam?

Ketika suatu tindakan destruktif—mencabut nyawa manusia lain—disebut hukuman yang adil. Apakah memang manusia telah identik dengan kesalahannya hingga harus dihancurkan begitu saja oleh sesama manusia? Atau memang inilah saatnya manusia saling menghancurkan?

Monday, January 01, 2007

Pramoedya Ananta Toer and Christian Education

This Christmas holiday is really a joy for me. Aside from the opportunity to further develop my social relationship (with my family and friends), this holiday also gives me the chance to read some books—one of them is the late Pramoedya Ananta Toer’s Sekali Peristiwa di Banten Selatan.

The book describes clearly, how the spirit of mutual cooperation really blossoms in the daily life of rural Indonesians. How they can counteract many community problems with working together.

But the book also highlights one of Indonesia’s weakest points: education. It is a public secret that the government paid little attention to the development of education in Indonesia—aside maybe, to gain some profit from corruption via the ever-changing education policy.

What is the correlation to Christianity? Simple, education is one of Christianity’s biggest contributions to humankind’s history. You can find many schools or universities which roots on Christianity basis, not just outside Indonesia, but also in Indonesia. Some are even the pioneer of education in their location. And they simply do education on the purpose of serving (as a humble servant).

Shame for us that the tradition of Christian Education (thus, contributing to community) has becoming weaker. True, Christian Schools do exist. But are they still doing their Christian way of life (and way of teaching) in their daily life? We can no longer distinguish some Christian educator from those who are not. Some “Christian educator” are even worse than their counterparts (I happens to face some of these “educators”).

It is our chance to fix what has to be fixed. There are those who chose to smear the world of Christian Education—it is their choice. We, meanwhile, can do the opposite: doing what he has to do for Christian Education. You do not have to be a formal teacher; you do not have to be a staff in a formal education foundation. You can start it in your very own community: be a proactive and resourceful, yet educating man. I am lucky enough to find a group which gives me the opportunity to do education activities (although not a formal one). I do trust that there are still enough Christians with a passion of Christian Education that conducts groups such as the one I’m in. And it is your doorway to be a high-impact Christian.

Curse of The Golden Flower

Nama besar Zhang Yimou sepertinya sudah menjadi jaminan tersendiri akan kualitas film ini. Dan itu salah satu alasan saya akhirnya memutuskan untuk menonton film ini.

Hasilnya? Secara visual memang film ini sangat mengagumkan: kolosal! Kualitas para pemainnya pun sudah tidak diragukan lagi: Chow Yun Fat dan Gong Li, dua nama besar di dunia perfilman Cina. Ceritanya pun dibawakan secara menarik—walaupun membutuhkan konsentrasi ekstra untuk mengikutinya karena teknik subtitling yang kurang baik.

Akan tetapi saya menjadi berpikir terus ketika menonton film ini. Sepertinya memang sudah merupakan “tradisi” di keluarga monarki kerajaan-kerajaan dahulu untuk terjadi perebutan kekuasaan. Hingga seekstrim yang digambarkan dalam film ini mungkin: suami yang membuang istri pertamanya dan meracuni istri keduanya; istri kedua yang berencana melakukan kudeta terhadap suaminya (raja) sambil melakukan incest terhadap putra tirinya; anak pertama yang seperti kebingungan dan memadu kasih dengan gadis yang (ternyata!) adik kandungnya; putra kedua yang berambisi merebut kekuasaan ayahnya dan melakukan pembelotan (walaupun dengan label melindungi ibunya); anak terkecil yang diam-diam menyimpan ambisi dan dendam—hingga tega membunuh kakaknya sendiri.

Melihat keluarga yang digambarkan dalam film ini—dan menengok tren yang terjadi saat ini, dimana pertalian keluarga seringkali tidak berarti pribadi-pribadi yang ada dalam keluarga tersebut saling mengasihi, bahkan dapat saling bertikai dan membunuh (tengok saja koran-koran picisan atau tabloid gosip untuk membuktikannya), apakah memang keluarga sudah kehilangan maknanya? Apakah memang keluarga sudah tidak dibangun atas dasar cinta kasih?

Ketika keluarga sebagai struktur sosial paling sederhana yang dapat mewujudkan kedamaian sudah melupakan fungsi pembawa damainya, pilihannya hanya satu: manusia saling menghancurkan.

Tahun 2006 dalam Hidupku

Tahun 2006 merupakan salah satu tahun dimana saya harus menghadapi banyak perubahan—beberapa sangat drastis dan memiliki efek yang tidak sedikit (walaupun pada akhirnya berdampak positif).

Karir dan Pekerjaan

Tahun 2006 diawali dengan status baru: karyawan tetap PT Astra Honda Motor. Ya, setelah 6 bulan penuh perjuangan, per Desember 2005 saya telah diangkat sebagai karyawan tetap. Berkat yang menyenangkan? Tentu saja.

Pada perjalanannya, langkah-langkah awal karir di tahun 2006 agak tersendat. Saya masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan kerja baru (yang memiliki code of conduct yang berbeda dengan kantor lama). Saya bertemu dengan rekan-rekan baru, tidak hanya dari internal AHM tapi juga dari konsultan yang gaya kerjanya berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya.

Pada awal 2006 ini pula saya sempat jatuh sakit yang agak lama (satu minggu). Ada diagnosis ini terpengaruh oleh beban kerja waktu itu. Beruntung pada akhirnya saya dapat bangkit dan aktif kembali. Ada teman yang akhirnya mengundurkan diri dari AHM karena merasa tidak mampu menghadapi beban kerja.

Saya juga harus rela kehilangan beberapa rekan kerja yang tidak diperpanjang status kontraknya di pertengahan tahun ini. Dan menemukan beberapa teman kerja yang baru—di luar IT. Salah satunya membuat saya terkesan dengan mengirimkan sebuah email sederhana ketika saya sedang mendekati titik-titik kejenuhan melihat sistem kerja yang tidak efisien. Perhatian, walaupun sederhana, memang sangat berguna bagi yang menerimanya.

Pertengahan tahun juga menandakan satu titik monumental dalam karir. Kepercayaan telah diberikan kepada saya dengan mengangkat saya sebagai Team Leader. Walaupun ini hanya berlaku dalam proyek dan tidak dalam waktu yang terlalu lama, ini memberikan rasa percaya diri ketika saat itu merupakan salah satu saat paling melelahkan dalam proyek.

Beberapa training juga saya terima di tahun ini, salah satunya Oracle BPEL dan Information System Audit. Setidaknya training terakhir itu semakin membukakan mata saya dan memperluas pengetahuan maupun jaringan saya (baik internal AHM maupun eksternal AHM).

Karir saya di tahun 2006 ditutup dengan adanya rotasi di struktur organisasi IT AHM. Per 01 Januari 2007 saya akan ditempatkan di departemen baru. Satu kesempatan lagi untuk berkarya. Serta ditutup dengan adanya performance appraisal yang walaupun baik, tetap belum merupakan nilai maksimal dari skala performa yang ada. Mengutip kata-kata seorang teman: “baik tidaklah cukup jika ada yang terbaik”.

Relasi

Relasi merupakan aspek dengan pergolakan terbesar di tahun 2006. Perubahan-perubahan yang terjadi sempat memukul saya untuk beberapa saat. Akan tetapi justru di saat-saat itu saya berhasil menemukan orang-orang yang layak disebut sahabat—suatu hal yang menjadi tantangan bagi seorang INTJ. Sulit membayangkan bisa menjadi seperti saat ini kalau tidak ada campur tangan sahabat-sahabat itu.

Saya juga menemukan suatu komunitas—tempat dimana saya dengan cepat dapat menemukan lebih banyak teman lagi. Prestasi di bidang relasi di tahun ini cukup cemerlang untuk INTJ seperti saya.

Dalam waktu relatif singkat, cukup banyak kepercayaan yang telah diberikan kepada saya oleh teman-teman baru saya. Semoga saya tidak mengecewakan mereka.

Masih ada pertanyaan besar dalam aspek relasi yang belum terjawab sampai akhir tahun 2006 ini. Walaupun mungkin saya tidak akan pernah mendapatkan jawabannya, tapi bukanlah sesuatu yang sia-sia untuk berharap bahwa jawabannya (walaupun jawaban itu tidak akan pernah kuketahui) merupakan jawaban yang hadir dari perenungan mendalam, bukan keputusan sesaat.

Pelayanan

Jika tidak karena adanya pergolakan di aspek relasi, mungkin sulit untuk membayangkan bisa aktif di pelayanan gerejawi saat ini. Dari dulu saya memang lebih menyukai pelayanan melalui tulisan atau aktivitas-aktivitas yang tidak berlabelkan kerohanian (sambil melakukan pelayanan tersebut secara “terselubung”). Akan tetapi saat ini saya telah menemukan bahwa kedua hal tersebut dapat saling melengkapi. Tentunya dengan adanya kesempatan (dan kesempatan berinovasi) yang telah diberikan—sesuatu yang langka dalam suatu organisasi yang pernah saya masuki.

Pemuda GKI Kayu Putih... sepertinya saya sudah menemukan “rumah kedua” untuk saat ini. Dengan anggota tim yang baik, tidak ekstrim rohani (dan menutup mata terhadap dunia), terlihat sangat positif.

Sahabat-sahabat di tim bayangan TGiF dengan berbagai karakter dan gaya mereka. Memberikan saya kesempatan untuk lebih lanjut mengembangkan diri. Semangat saya untuk kembali menulis juga lebih terpacu dengan adanya mereka, yang seringkali mungkin tanpa mereka sadari memberikan semangat dan dorongan untuk menulis.

Kesempatan menulis dan menggunakan kemampuan teknikal juga telah dibukakan oleh pelayanan literatur dan sarana-prasarana. Walaupun memang tidak semuanya dapat serta-merta saya jabani. Akal sehat dalam memilihnya tetap harus digunakan.