« Home | Hukuman » | Pramoedya Ananta Toer and Christian Education » | Curse of The Golden Flower » | Tahun 2006 dalam Hidupku » | Blogging to Bless? » | Topeng » | Ketika Vendetta Berganti Visi Vitalisasi » | Ma’af atau Ma’af » | To Change or Not To Change: Doing My Best in an Ev... » | Mirror Blog »

Teater Koma dan Regenerasi Organisasi

Minggu lalu saya baru saja menonton pagelaran terbaru Teater Koma, Kunjungan Cinta, di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Wow, pertunjukan yang mengagumkan. Saya menikmati seluruh pertunjukan. Mulai dari akting Butet Kertaradjasa sebagai Ilak, Ratna Riantiarno sebagai Klari (atau lebih baik disebut Klara, namanya setelah kaya mendadak?), hingga dekor yang megah serta durasi pertunjukan yang cukup lama (4 jam!).

Akan tetapi, satu hal yang sangat saya perhatikan, saya merasa Teater Koma telah kembali menunjukkan sinarnya. Bukan merendahkan pertunjukan sebelumnya, Festival Topeng. Keduanya tetap bagus, akan tetapi sepertinya ada sesuatu yang hilang dalam Festival Topeng. Padahal naskahnya bukan naskah picisan (mana ada naskah pemenang Sayembara Naskah Dewan Kesenian Jakarta 2003 yang picisan, beda dengan naskah sinetron Indonesia). Sepertinya unsur sutradara memang memegang peranan penting. Ya, Festival Topeng memang dapat dikatakan ajang regenerasi sutradara Teater Koma. Tampuk sutradara yang biasanya dipegang oleh Nano Riantiartno, kali ini dipegang oleh Budi Ros, salah satu sesepuh Teater Koma lainnya.

Saat-saat itu memang menjadi masa-masa regenerasi Teater Koma. Setelah sebelumnya mementaskan Sampek-Engtay 2005 yang menjadi ajang regenerasi keaktoran (semua pemain dari angkatan 2005 Teater Koma), kali ini ajang regenerasi kesutradaraan. Akan tetapi, walaupun sebenarnya Budi Ros sudah berpengalaman menyutradarai pementasan, tetap saja pementasan Festival Topeng terasa kurang menggigit. Dialog-dialognya tetap tajam, tapi tetap saja ada sesuatu yang hilang—bukan guyonan yang jelas, karena sebenarnya bagi saya guyonan dalam naskah teater itu hanya merupakan tambahan, bukan esensi.

Sepertinya kendala seperti ini juga yang banyak dihadapi organisasi, termasuk organisasi Kristen. Seringkali kita terpaku pada regenerasi anggota—terutama ketika grafik keanggotaan menunjukkan kurva menurun. Perkara regenerasi pemimpin hanya dipikirkan ketika bulan-bulan terakhir menjelang pergantian kepengurusan. Padahal pemimpin bukanlah mereka yang lahir dalam waktu sebulan atau dua bulan. Pemimpin adalah mereka yang sudah dipersiapkan—dan mempersiapkan diri—sejak jauh hari. Kesalahan atau malah kegagalan mempersiapkan pemimpin berarti juga kegagalan dalam mewujudkan organisasi yang berkelanjutan. Pemimpin yang baik akan membawa suasana yang menarik anggota (dan calon anggota). Dari anggota ini akan dimunculkan calon-calon pemimpin lagi. Pemimpin yang buruk dapat menjauhkan anggota (dan calon anggota). Akibatnya, organisasi juga kehilangan calon pemimpin masa depan. Organisasi tanpa pemimpin? Sepertinya akan menjadi organisasi yang kehilangan arah dan menuju kebinasaan.

Bukanlah sesuatu yang haram bagi seorang pemimpin untuk mulai melirik calon-calon penggantinya sejak jauh-jauh hari. Dan mempersiapkannya sejauh jauh hari: dengan bimbingan, dengan pelatihan, dan dengan kepercayaan.