Monday, April 30, 2007

Thank God it's Friday @ the Net

GKI Kayu Putih’s Thank God it’s Friday has just launched it’s blog! Please visit http://tgif-gki.blogspot.com. You can find articles related to our activities and also photographs of our sessions there.

Don’t forget to drop a comment!

Friday, April 06, 2007

Pong

(Suara Pria):

Kebebasan selalu dicari manusia, sejak dahulu kala hingga jaman ini. Kebebasan adalah sesuatu yang sangat berharga. Namun sudahkah manusia mengenal kebebasan itu sebenarnya? Kami, dari Teater Titik, mempersembahkan Pong!


(Musik instrumen Jawa tradisional mengalun fade-in)


(Suara Wanita):

Dimanakah muasal semua suara?

Dimanakah sumber semua daya?

Dimanakah awal semua tindak?

Dimanakah pusat semua asa?


Makin bertanya semakin bimbang

Makin tak acuh, semakin tertarik

Makin merenung, semakin bimbang

Makin menjauh, semakin ingin mendekat


Kebebasan sejati, dimanakah engkau?

Tanpa berbentuk, apakah kamu nyata?

Tanpa terlihat, apakah kamu ada?

Tanpa bersuara, apakah kamu fana?


Semua mencari, hilang kendali

Semua melayang, terhempas selalu

Kamu dicari, hingga ke ujung bumi

Kebebasan sejati, dimanakah engkau?


(Narator masuk perlahan, membuang-buang kartu sambil bertanya: bebas, tidak, bebas, tidak. Narator memasuki posisi, musik fade-out).


Narator:

Ah, tahun 2001. Sudah bertahun-tahun saya mengembara, mencari kebebasan. Susah mencarinya... (menengok ke arah penonton). Ah, penonton! Maaf, maaf! Saya terlalu sibuk mencari kebebasan, sampai-sampai lupa sudah disini. Baiklah, saya akan bercerita tentang pengembaraan saya. Bercerita tentang diri saya sendiri. Nama saya: PONG! Ya, Pong, begitu saja! Dieja P-O-N-G! PONG! Aku baru saja lulus dari SMU, tinggal di kost! Bebas! Nikmat! Tapi kini...


Pong:

(Lari masuk terengah-engah, panik, marah, gelisah)

Aku harus bersembunyi, sebelum mereka datang kesini!

(Bersembunyi)


Narator:

Nah! Itu diriku! Tapi kenapa aku ketakutan begitu ya?

(Suara langkah-langkah, Panitia 1 & 2 masuk)

Oh, iya! Gara-gara ospek, aku kehilangan kebebasan baruku! Aku dibotakin, aku dikerjain, pokoknya dipingit deh! Oleh mereka tuh! Mereka itu!


Panitia 1:

Itu dia, tangkap!

(Panitia 1 & 2 melilitkan rantai ke Pong, gerakan teatrikal)

Anak yang malang!


Pong:

(Merintih) Kebebasan, kebebasan (berulang-ulang)


Manusia Kalender:

(Masuk, membawa kalender dan merobek 6 lembar secara berurutan)

Lembar demi lembar kehidupan

Adakah berawal?

Akankah berakhir?

Akankah kau temukan kebebasan sejati?


(Ketika lembar keenam terobek, rantai Pong terlepas)


Pong:

Bebas!! Akhirnya kebebasan mutlak!

(Mendorong Pan 1 & 2) Pergi kau! Pergi kalian semua! Tak seorang pun berhak atas diriku, tak seorang pun karena aku orang merdeka!


(Kelima bayangan Pong masuk, membawa jaket almamater Pong. Pong memakainya lalu statis).


Narator:

Kini aku adalah manusia bebas. Ya, aku Pong yang dulu selalu dianggap kecil. Tidak berguna. Ditendang kesana kemari, dipermainkan. Namun aku kini adalah mahasiswa, orang yang bebas untuk melakukan segalanya. Aku merdeka!

Kebebasan, nafsuku sudah membludak! Dan kini akan kulampiaskan segalanya!


Pong 1:

Ya, karena semuanya dimulai oleh seks! Nafsu, nafsu, n..a..f..s..u! Kupuaskan diriku dengannya... CD porno... majalah hot... pokoknya, nafsu! Tapi aku tidak puas hanya melihatnya! Aku ingin melakukannya, dan segalanya tersedia bagi seseorang yang bebas sepertiku!

(Menggaet WTS, lalu statis)


Narator:

Apapula gunanya teknologi bebas kalau tidak kunikmati? Satu lagi kebebasan yang akan kunikmati!


Pong 2:

Game dan Internet! Aku bebas menjadi siapa saja disana! Aku dapat menjadi jagoan, aku dapat menjadi pembunuh, aku bebas menjadi segalanya! Tiada lagi kepenatan duniawi, yang ada hanya kebebasan dalam dunia baru ini... (tertawa jahat)


Narator:

Aku lihat, para perokok & junkies selalku senang, keren! Tapi dulu aku selalu saja dilarang. Namun kini, bebas! Aku bebas untuk menikmatinya!


Pong 3:

Aku bebas untuk menebarkan asap rokokku dimana saja! Aku bebas untuk menikmati segala macam obat yang katanya terlarang. Hah, terlarang! Padahal justru nikmat! Memang banyak orang tidak senang melihat aku bebas!


Narator:

Kuatir kehabisan uang? Tidak pernah! Aku tidak peduli tentang uang!


Pong 4:

(Menebarkan uang)

Aku bebas untuk membuangnya, aku bebas untuk mencarinya! Dengan berjudi? Dengan menipu? Dengan mencuri? Atau, aku bisa saja minta ke ortuku! Toh, kalau aku berkata, “Ma, bagi duit dong!”, dia selalu berkata: (pindah posisi, suara kewanitaan) “perlu cek berapa juta, anakku?”.

Hah, kapan aku akan kehabisan uang karena aku orang bebas!


Narator:

Semua kebebasan ini kuperoleh dari kebebasanku. Kebebasan yang kudapatkan melalui status kemahasiswaanku. Kebebasan yang kudapatkan melalui putusnya aku dari belenggu kukungan rumahku! Dan masuknya aku ke dalam kemerdekaan di dalam kostku ini! Kebebasan yang kugapai melalui hilangnya kendali orang tuaku atas diriku.

Tapi aku tidak mau orang lain tidak sadar tentang kebebasan! Aku harus menyadarkan sebanyak mungkin orang! Masih banyak orang belum menyadari keterikatannya!

(Bayangan Pong berkeliling penonton, mencari target)


Pong:

Nah, ini dia yang akan kusadarkan!

(Bayangan Pong menarik penonton, membawanya ke arah Pong)

Hai kau, sadarlah! Kau sedang terkurung! Jangan mau bengong saja. Ikuti aku, jadilah bebas! Berusahalah sedikit saja, dan kau dapat turut menikmati kebebasan seperti aku.

(Bayangan Pong berkeliling, berinteraksi dengan penonton asli)


Penonton:

(Wajah bingungm frustasi, berjalan keluar)

Benar, tidak, benar, tidak (bertanya terus ke penonton)


Pong:

Anak manusia yang malang! Kebebasan ditolak begitu saja. Kebebasan diperoleh dengan usaha, bukan dengan bacot tanya sini tanya sana! Kebebasan dan kemerdekaan... semua itu penting untuk hidup kita!

Fajar merekah

Tertutup di hati

Malam kelam

Terbuka di hati


Kebebasan datang

Tak kau gapai

Kemerdekaan hadir

Tak kau raih

Terjajah diri

Kau senangi


Setan 1:

(Setan 1 & Setan 2 masuk)

Spada!


Pong:

Wah, siapa lagi mereka ini?


Setan 2:

Pong, perkenalkan... Saya Setan Dua!


Setan 1:

Dan saya, Setan Satu!


Pong:

Lha, setan koq bilang-bilang?


Setan 1:

Yah, lebih baik terus terang kan? Lagian kamu sudah terikat oleh kami!


Pong:

Apa? Aku terikat lagi?

(Kebingungan. Dalam kebingungan Pong, S1 & S2 bergegas mengikat Pong, teatrikal)

Tapi aku manusia bebas!


Setan 1:

Kau kira kebebasanmu itu adalah kebebasan!


Setan 2:

Dasar manusia goblok, kebebasanmu itu hanya kebebasan semu!


Setan 1 & Setan 2:

SEMU!

(Berlompatan gembira, meninggalkan Pong terikat)


Pong:

(Kebingungan)

Aku tidak bebas? Aku terikat? Bebas? Semu?

(Malaikat 1 & 2 masuk, Pong tidak menyadari dalam kebingungannya)


Malaikat 1:

Pong!

(Pong tersadar dari kebingungannya, gusar melihat M1 & M2)


Pong:

(Berbisik sendiri, ketakutan) Siapa lagi mereka? Aku sudah terikat, kau mau apakan pula diriku?


Malaikat 2:

Kami mau menolong kamu!


Pong:

Bukannya mempermainkan saya?


Malaikat 1:

Kami hanya menjalankan tugas, membantu kamu bebas!

(M1 & M2 melepaskan rantai Pong)


Malaikat 2:

Kami hanya butuh kepercayaanmu. Ikutlah dengan kami, karena kami tahu dimana kebebasan sejati. Keputusan ada di tanganmu, Pong!

(M1 & M2 meninggalkan panggung)


Pong:

(Termanggu dalam pergumulan, akhirnya mengikuti M1 sambil terus bertanya ke penonton)

Bebas, tidak? Percaya, tidak?

(Pong sudah di luar panggung, musik Jawa fade-in)


(Suara Wanita):

Dimanakah muasal semua suara?

Dimanakah sumber semua daya?

Dimanakah awal semua tindak?

Dimanakah pusat semua asa?


Makin bertanya semakin bimbang

Makin tak acuh, semakin tertarik

Makin merenung, semakin bimbang

Makin menjauh, semakin ingin mendekat


Kebebasan sejati, dimanakah engkau?

Tanpa berbentuk, apakah kamu nyata?

Tanpa terlihat, apakah kamu ada?

Tanpa bersuara, apakah kamu fana?


Semua mencari, hilang kendali

Semua melayang, terhempas selalu

Kamu dicari, hingga ke ujung bumi

Kebebasan sejati, dimanakah engkau?


Panggung ditutup


Naskah pernah dipentaskan dalam Penyambutan Mahasiswa Baru Persekutuan Oikoumene Bina Nusantara

Tuesday, April 03, 2007

Kebebasan Pers? Tidak Ada Kebebasan Pers di Indonesia! – Updated: Wimar’s World Tidak Tayang Lagi

Tepat sehari setelah saya membuat tulisan mengenai kebebasan pers, (lagi-lagi) acara talkshow dari Bung Wimar Witoelar dinyatakan tidak akan tayang lagi. Setelah Perspektif dan Selayang Pandang, kali ini giliran Wimar’s World di JakTV yang dihentikan.

Agak aneh, karena sebenarnya ini merupakan salah satu acara paling populer di JakTV. Dan kabarnya pula, sebenarnya rencana untuk memperpanjang kontrak acara ini sudah disiapkan, bahkan dijanjikan.

Jadi kenapa? Isunya sih karena tanggapan Wimar di acara Gubernur Kita yang menyindir salah satu pejabat paling berkuasa di Jakarta. Entah memang karena itu atau bukan, yang jelas satu lagi acara yang sebenarnya menjadi kontrol masyarakat terhadap pemerintahan menemui ajalnya.

Monday, April 02, 2007

Kebebasan Pers? Tidak Ada Kebebasan Pers di Indonesia!

Dua bulan ini sungguh merupakan suatu goncangan bagi insan pers Indonesia. Kebebasan Pers yang selama ini diikrarkan dipegang teguh, runtuh begitu saja. Ancaman-ancaman bagi kelangsungan pers kembali beredar.

Mulai dari rencana somasi ke sebuah acara di televisi, sunggung mengingatkan ke masa-masa dimana Wimar Witoelar dengan Perspektif-nya dibredel beberapa kali. Ironisnya justru rencana ini dibuat oleh seseorang yang seharusnya memegang penuh kebebasan pers itu. Akan tetapi mungkin memang jabatan yang dipegangnya hanyalah nama lain dari Departemen Penerangan (yang justru menggelapkan), suatu departemen yang menebarkan ketakutan pada insan pers sejak dulu.

Bahkan Internet yang dulu dikatakan sebagai corong kebebasan pers pun mulai diserang. Lokasi dimana siapapun dapat menjadi insan pers, mulai diutak-atik. Kali ini bahkan oleh pejabat dari negeri tetangga yang menyerang blogger Indonesia yang menyatakan unek-uneknya tentang negeri itu. Hebatnya, sama sekali tidak ada usaha dari lembaga Indonesia untuk setidaknya melindungi warganya itu. Entahlah, terlalu takut barangkali terhadap koleganya dari negeri tetangga itu?

Dan baru saja saya menerima kabar bahwa ada satu wartawan radio lagi yang mengalami teror atas pemberitaan yang dilakukannya. Belum ada reaksi yang berarti dari aparat hingga sejauh ini.

Pengalaman saya sendiri sejak usia sekolah dulu memperlihatkan, memang sejak dahulu kita dibentuk untuk tidak menghargai kebebasan pers. Untuk mengekangnya. Bahkan dalam lembaga-lembaga dimana sebenarnya kita seharusnya diberi kesempatan untuk belajar mengungkapkan pendapat, belajar melakukan reportase, kebebasan itu hanyalah angan-angan belaka. Sungguh suatu ironi, ketika tahun ini majalah Time menganugerahkan penghargaan Person of the Year kepada You (Kita semua!) sebagai peringatan atas hak kebebasan mengemukakan pendapat di Internet, di tempat ini kita malah semakin dihimpit dengan berbagai tekanan-tekanan pers yang tidak jelas aturannya.

Apakah memang ini saatnya menjadi seorang apatis? Tidak, ini kesempatan dimana kita semakin menunjukkan fungsi pers untuk menafikan hipokritas. Mengutip kata-kata Gie, bagi insan pers lebih baik untuk diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan!

Akan tetapi, apakah memang tidak ada kebebasan pers di Indonesia? Ada, tapi dengan perjuangan. Karena memang tidak ada kebebasan yang diperoleh tanpa perjuangan. Tidak ada kebebasan yang diperoleh hanya dengan permohonan-permohonan. Seperti Leonidas, biarlah kita sebagai insan pers berani menghadapi tantangan yang amat besar demi perjuangan itu sendiri. Demi kebebasan itu. Kecuali kalau kita mengizinkan judul tulisan ini menjadi realita.

Sunday, April 01, 2007

A Leader’s Legacy

Most of my friends (including me), will always “hate” March 30th 2007. It is the day of where one of our leader will leave us for he will work in another company—our holding company to be exact.

Compared to previous experiences of having to part from a leader, this is one of the most emotional experiences. I don’t know how, in just about one year, I learn so much from this figure. I do not find the management-by-fear experience from him, a practice done by so many leaders in Indonesia. I learn to respect him based on his humanity, not solemnly on his organizational position. I think it will be a fair statement to say that all of my colleagues really appreciate his doings while in my organization. How he had tried to do what he can do for the sake of all of us.

A leader’s legacy is what he had done for his organization, for his people. Not what his organization, what his peoples have done for him.