Kebebasan Pers? Tidak Ada Kebebasan Pers di Indonesia!
Dua bulan ini sungguh merupakan suatu goncangan bagi insan pers Indonesia. Kebebasan Pers yang selama ini diikrarkan dipegang teguh, runtuh begitu saja. Ancaman-ancaman bagi kelangsungan pers kembali beredar.
Mulai dari rencana somasi ke sebuah acara di televisi, sunggung mengingatkan ke masa-masa dimana Wimar Witoelar dengan Perspektif-nya dibredel beberapa kali. Ironisnya justru rencana ini dibuat oleh seseorang yang seharusnya memegang penuh kebebasan pers itu. Akan tetapi mungkin memang jabatan yang dipegangnya hanyalah nama lain dari Departemen Penerangan (yang justru menggelapkan), suatu departemen yang menebarkan ketakutan pada insan pers sejak dulu.
Bahkan Internet yang dulu dikatakan sebagai corong kebebasan pers pun mulai diserang. Lokasi dimana siapapun dapat menjadi insan pers, mulai diutak-atik. Kali ini bahkan oleh pejabat dari negeri tetangga yang menyerang blogger Indonesia yang menyatakan unek-uneknya tentang negeri itu. Hebatnya, sama sekali tidak ada usaha dari lembaga Indonesia untuk setidaknya melindungi warganya itu. Entahlah, terlalu takut barangkali terhadap koleganya dari negeri tetangga itu?
Dan baru saja saya menerima kabar bahwa ada satu wartawan radio lagi yang mengalami teror atas pemberitaan yang dilakukannya. Belum ada reaksi yang berarti dari aparat hingga sejauh ini.
Pengalaman saya sendiri sejak usia sekolah dulu memperlihatkan, memang sejak dahulu kita dibentuk untuk tidak menghargai kebebasan pers. Untuk mengekangnya. Bahkan dalam lembaga-lembaga dimana sebenarnya kita seharusnya diberi kesempatan untuk belajar mengungkapkan pendapat, belajar melakukan reportase, kebebasan itu hanyalah angan-angan belaka. Sungguh suatu ironi, ketika tahun ini majalah Time menganugerahkan penghargaan Person of the Year kepada You (Kita semua!) sebagai peringatan atas hak kebebasan mengemukakan pendapat di Internet, di tempat ini kita malah semakin dihimpit dengan berbagai tekanan-tekanan pers yang tidak jelas aturannya.
Apakah memang ini saatnya menjadi seorang apatis? Tidak, ini kesempatan dimana kita semakin menunjukkan fungsi pers untuk menafikan hipokritas. Mengutip kata-kata Gie, bagi insan pers lebih baik untuk diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan!
Akan tetapi, apakah memang tidak ada kebebasan pers di Indonesia? Ada, tapi dengan perjuangan. Karena memang tidak ada kebebasan yang diperoleh tanpa perjuangan. Tidak ada kebebasan yang diperoleh hanya dengan permohonan-permohonan. Seperti Leonidas, biarlah kita sebagai insan pers berani menghadapi tantangan yang amat besar demi perjuangan itu sendiri. Demi kebebasan itu. Kecuali kalau kita mengizinkan judul tulisan ini menjadi realita.