Quo Vadis Penerbitan Indonesia
Hari Minggu lalu sehabis dari Gereja dan diskusi Lontar, saya menyempatkan diri ke toko buku. Dua toko buku tepatnya, Gramedia Plaza Semanggi dan Gramedia Matraman. Ide awal mau mencari buku Roy Sembel yang akan digunakan dalam TGiF Jum’at ini.
Apa lacur, buku yang dicari tidak ditemukan. Akhirnya saya menggunakan waktu itu untuk mencoba baca-baca gratis dan mencari buku-buku lain yang mungkin layak dibeli.
Penerbitan Indonesia memang sedang mengalami perubahan besar-besaran. Nama-nama baru di dunia penerbitan tiap bulan bermunculan. Banyak yang di-backing nama-nama besar, namun banyak pula yang benar-benar merupakan nama baru. Jumlah buku terbitan tiap bulannya juga membludak.
Patut disyukuri? Tentu, namun belum sepenuhnya... Mengapa? Secara kuantitas memang dunia buku Indonesia mengalami kemajuan yang dahsyat. Akan tetapi secara kualitas? Masih perlu diragukan. Masih terlalu banyak judul-judul buku yang hanya memanfaatkan judul yang bombastis atau tren sesaat. Buku Jakarta Undercover? Setelah buku itu booming, langsung banyak buku yang me-too, meniru tema buku itu. Buku-buku seperti The Da Vinci Code dan Holy Blood, Holy Grail? Juga banyak, apalagi karena pada saat itu National Geographic Society juga baru saja mempublikasikan hasil risetnya terhadap The Gospel of Judas. Jeleknya kualitas itu diperparah dengan buruknya kualitas terjemahan buku-buku bahasa asing. Saya ingat terakhir kali membaca The Purple Cow karangan Seth Godin. Buku yang di Amazon.com mendapat rating4 bintang, versi terjemahannya malah sangat membingungkan untuk dibaca. Saya hampir tidak dapat menikmati experience membaca versi Indonesia buku tersebut. Padahal versi Indonesia buku tersebut diterbitkan oleh salah satu penerbit dalam grup penerbitan terbesar di Indonesia.
Dengan kondisi seperti demikian, bagaimana fungsi buku sebagai sarana pendidikan di Indonesia dapat berjalan? Bagaimana masyarakat dapat dicerdaskan melalui bacaan-bacaan? Jikalau buku yang bagus tidak dapat diterjemahkan dengan baik? Jikalau buku-buku yang laku hanyalah buku-buku yang mengumbar seks dan hal-hal bombastis lainnya?
Mungkin bangsa ini memang tidak akan pernah menjadi bangsa yang mencintai buku, bangsa yang membaca. Mungkin. Saya tidak mengetahui pastinya. Yang jelas, hari Minggu itu akhirnya saya batal membeli satu buku yang sebenarnya saya incar: The World is Flat (Thomas L. Friedman), lagi-lagi karena kualitas terjemahan yang jelek. Lebih baik saya mengeluarkan uang lebih untuk membeli versi Inggrisnya. Akhirnya saya pulang dengan membawa empat buku: buku sastra karangan Pramoedya Ananta Toer dan Seno Gumira Ajidarma serta majalah MotoGP. Semuanya buku-buku asli Indonesia.