Friday, April 19, 2002

Anne Frank vs. Marsinah: Suatu Ketidakadilan Sebagai Realita Yang Terpelihara? (1)

“Saya heran, haruskah seseorang mati dulu, menjadi martir dan sesudah ia mati baru bukunya kemudian diterbitkan agar bisa diterima dan dihargai oleh para tetangganya”

--Irene Fisch mengenai “The Diary of Anne Frank”

Di jaman yang katanya serba modern ini, isu Hak Asasi Manusia selalu menjadi sebuah topik yang selalu hangat untuk diperdebatkan. Hampir setiap saat dapat ditemukan orang-orang dan lembaga-lembaga baru yang (katanya) memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Dalam dekade terakhir ini, pertumbuhan tersebut semakin membludak, tidak hanya di dunia internasional, tetapi juga di dalam tubuh Indonesia sendiri. Dan bahkan isu HAM ini juga menjadikan Indonesia terjungkal di mata dunia. Mungkin masalah yang paling panas hingga kini adalah isu pelanggaran HAM di Timor Timur, suatu daerah yang kini telah menjadi negara baru—terlepas dari Indonesia.

Tetapi baiklah, kita tidak membincangkan Timor Timur dalam artikel ini. Secara khusus saya ingin menyoroti beberapa tokoh yang seringkali muncul dalam isu HAM. Anne Frank, mungkin masih banyak pembaca yang belum tahu siapa orang ini. Sebenarnya Anne Frank merupakan salah satu tokoh yang paling dikenal sejak penerbitan buku hariannya yang menggugah. Anne adalah salah satu korban Holocaust—pembantaian besar-besaran umat Yahudi. Anne menulis buku hariannya dalam tempat persembunyiannya hingga akhirnya ia beserta keluarganya ditangkap oleh pasukan Jerman. Salah satu idealismenya adalah lingkungan dimana semua orang diperlakukan sama. Anne Frank, korban pelanggaran HAM ketika HAM belum begitu ditekankan.

Tokoh kedua yang menjadi tonggak pembicaraan kita adalah Marsinah—kali in tokoh lokal, yang juga menjadi korban pelanggaran HAM. Untuk menyegarkan ingatan, Marsinah adalah pejuang hak kaum buruh, dan kemudian ia mengalami penculikan dan penyiksaan yang berakhir pada pembunuhan. Marsinah, korban pelanggaran HAM di waktu telah ada hukum mengenai HAM—terlebih di negara yang menjunjung HAM.

Sebelum kejadian Anne Frank sendiri telah banyak pasang-surutnya perkembangan HAM. Suku Indian Amerika sebagai pemilik tanah menjadi orang-orang yang terusir hingga pada akhirnya dirumuskan Indian Reorganization Act pada tahun 1934 sebagai salah satu tonggak—walaupun tidak berarti sesudahnya tidak terjadi pelanggaran HAM Indian lagi; orang-orang berkulit hitam yang terkena politik apartheid sebelum Martin Luther King Jr. melancarkan aksi mogoknya; tidak terlupakan Holocaust dengan Kristallnacht-nya dan masih banyak contoh lainnya.

Ketika membaca artikel tentang mereka, Indonesia juga dapat menjadi sorotan yang sangat mengasyikkan. Kenyataannya, di Indonesia penegakan HAM masih sangat lemah. Mengapa? Bukan hanya karena kesalahan rakyatnya yang telah tertanamkan bibit-bibit diskriminasi, bukan hanya kesalahan pemerintah saat ini, bukan hanya kesalahan pemerintah masa lalu. Tetapi perlu juga disorot peran serta masa-masa penjajahan. Masa dimana suatu etnis yang kini seringkali dinomorsekiankan sengaja diberikan hak-hak istimewa dalam ekonomi, dibandingkan rekan-rekannya yang lain etnis. Praktek ini terhitung cukup berhasil untuk memecahkan rakyat Indonesia dulu, karena terhitung cukup banyak kerusuhan rasial yang terjadi. Selain itu dengan cara ini, etnis tersebut menjadi perlu berlindung di balik Sang Penjajah, hal yang semakin memperkuat Penjajah dan semakin memperuncing pertikaian antaretnis Indonesia.

Hal ini terus berlangsung pada masa pemerintahan Indonesia. Bahkan kali ini, dapat dikatakan Indonesia sedang menanam kebun diskriminasi. Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pegangan sendiri memiliki banyak kelemahan dalam hal Hak Asasi Manusia. Kerancuan yang paling terlihat mungkin dipenggunaan istilah “orang Indonesia asli.” Dengan istilah itu akan muncul pertanyaan, apa ciri-ciri orang Indonesia asli, dan apapula itu orang Indonesia palsu?

(to be continued)