Saturday, March 31, 2007

Experiential Dining

While not being a fan of Krisdayanti, I enjoyed my gala dining last night. It really gives me a chance to see that indeed, Earth had becomes Venus. How marketers brave enough to do some radical changes to the way they sells their product to further gives their customers a chance to interact. It is not a one-way selling anymore anyway.

Hey, who said that gala dining was always done with soft, easy-listening or classical music in the background? What I experienced was totally different! Upbeat music accompanies the waitress as they serve the food. And not just the easy way of serving, they made the food-serving process a-must-see show! Now, that’s what I say dining for your hunger and for your eyes too J. Given the fair amount of young professionals in the dining, I think they have made a right decision to do this radical way of serving the food by being not too strict and not too loose.

But what is experiential dining if it only came at the food-serving process? Thankfully, they really gives us, their customer, a fair amount of interaction, a chance to further enhances emotional bonding as from us customer and themselves as marketers. Is this a form of Marketing in Venus? I do think so.

Friday, March 30, 2007

Penghormatan Terakhir Sebagai Penghinaan Terakhir

Perjalanan ke UI Salemba tanggal 24 Maret kemarin sungguh menjadi perjalanan yang tidak akan terlupakan. Bukannya dapat sampai di UI dengan kesegaran untuk mengikuti CISA Review Course, saya malah hampir mengalami kecelakaan.

Apa penyebabnya? Mungkin (kebetulan) karena saya berpapasan dengan iring-iringan rombongan pengantar jenazah. Penghormatan terakhir, sebuah prosesi yang sakral. Kegiatan dimana kita sebagai manusia yang masih hidup (secara fisik) memberikan upaya kita untuk mengantarkan jasad fisik orang yang kita cintai ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Namun apa daya, prosesi yang seharusnya khidmat dan mendatangkan empati bagi orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan iring-iringan ini justru menjadi prosesi yang membuat orang-orang mencibir. “Hanya” karena tingkah laku para pengiring yang tidak kenal sopan santun berlalu lintas. Dengan kasarnya menghentikan kendaraan lain, mengayunkan bendera kuning mereka tepat di depan muka pengendara motor yang mereka susul, meneriakkan kata-kata yang tidak etis, dan berbagai tindakan lainnya. Bahkan hal yang sebenarnya sangat sederhana: mengenakan helm bagi mereka yang menggunakan sepeda motor pun tidak mereka lakukan.

Apa yang ingin mereka capai sebenarnya? Apakah memang mereka benar-benar sedang menghormati si almarhumah? Atau malah mereka sebenarnya ingin menghina si almarhumah dengan menunjukkan bahwa yang ada di sekeliling si almarhumah selama hidupnya hanyalah orang-orang yang tidak kenal tata krama, tidak menghargai orang lain? Orang-orang yang hanya dapat menyatakan penghargaan dengan cara yang tidak menghargai? Bahkan orang-orang yang tidak menghargai nyawanya sendiri dengan melakukan aksi-aksi akrobatik di jalanan?

Bukannya mendatangkan rasa hormat, empati, dan mem beri jalan secara sukarela, mereka malah membuat pengguna jalan yang lain hanya beranggapan bahwa satu lagi rombongan tanpa tata krama tengah beraksi di jalan. Alih-alih memberikan penghormatan terakhir melalui prosesi pengiringan jenazah, mereka justru memberikan penghinaan terakhir.

Apakah kita juga pernah memberikan penghinaan terakhir?

Wednesday, March 14, 2007

Idealisme dan Komunitas

Beberapa hari ini merupakan hari yang cukup menegangkan secara emosional. Ketika ada orang-orang yang merasa berkuasa dan dapat melanggar sistem yang telah dibentuk sedemikian saja, hanya untuk kemudahan pribadi.

Merupakan suatu tantangan untuk dapat mempertahankan idealisme di tengah kondisi sehari-hari. Menjadi tantangan yang lebih lagi ketika tantangan itu diberikan oleh orang yang berkuasa.

Di tengah kondisi seperti inilah keberadaan komunitas yang mendukung dan berani menunjukkan identitasnya sangat berarti. Saya mungkin dapat bertahan sendiri dengan idealisme itu. Namun semakin hari, kelelahan itu kian datang—kelelahan yang dapat disembuhkan kembali di dalam komunitas itu.

Quo Vadis Penerbitan Indonesia

Hari Minggu lalu sehabis dari Gereja dan diskusi Lontar, saya menyempatkan diri ke toko buku. Dua toko buku tepatnya, Gramedia Plaza Semanggi dan Gramedia Matraman. Ide awal mau mencari buku Roy Sembel yang akan digunakan dalam TGiF Jum’at ini.

Apa lacur, buku yang dicari tidak ditemukan. Akhirnya saya menggunakan waktu itu untuk mencoba baca-baca gratis dan mencari buku-buku lain yang mungkin layak dibeli.

Penerbitan Indonesia memang sedang mengalami perubahan besar-besaran. Nama-nama baru di dunia penerbitan tiap bulan bermunculan. Banyak yang di-backing nama-nama besar, namun banyak pula yang benar-benar merupakan nama baru. Jumlah buku terbitan tiap bulannya juga membludak.

Patut disyukuri? Tentu, namun belum sepenuhnya... Mengapa? Secara kuantitas memang dunia buku Indonesia mengalami kemajuan yang dahsyat. Akan tetapi secara kualitas? Masih perlu diragukan. Masih terlalu banyak judul-judul buku yang hanya memanfaatkan judul yang bombastis atau tren sesaat. Buku Jakarta Undercover? Setelah buku itu booming, langsung banyak buku yang me-too­, meniru tema buku itu. Buku-buku seperti The Da Vinci Code dan Holy Blood, Holy Grail? Juga banyak, apalagi karena pada saat itu National Geographic Society juga baru saja mempublikasikan hasil risetnya terhadap The Gospel of Judas. Jeleknya kualitas itu diperparah dengan buruknya kualitas terjemahan buku-buku bahasa asing. Saya ingat terakhir kali membaca The Purple Cow karangan Seth Godin. Buku yang di Amazon.com mendapat rating4 bintang, versi terjemahannya malah sangat membingungkan untuk dibaca. Saya hampir tidak dapat menikmati experience membaca versi Indonesia buku tersebut. Padahal versi Indonesia buku tersebut diterbitkan oleh salah satu penerbit dalam grup penerbitan terbesar di Indonesia.

Dengan kondisi seperti demikian, bagaimana fungsi buku sebagai sarana pendidikan di Indonesia dapat berjalan? Bagaimana masyarakat dapat dicerdaskan melalui bacaan-bacaan? Jikalau buku yang bagus tidak dapat diterjemahkan dengan baik? Jikalau buku-buku yang laku hanyalah buku-buku yang mengumbar seks dan hal-hal bombastis lainnya?

Mungkin bangsa ini memang tidak akan pernah menjadi bangsa yang mencintai buku, bangsa yang membaca. Mungkin. Saya tidak mengetahui pastinya. Yang jelas, hari Minggu itu akhirnya saya batal membeli satu buku yang sebenarnya saya incar: The World is Flat (Thomas L. Friedman), lagi-lagi karena kualitas terjemahan yang jelek. Lebih baik saya mengeluarkan uang lebih untuk membeli versi Inggrisnya. Akhirnya saya pulang dengan membawa empat buku: buku sastra karangan Pramoedya Ananta Toer dan Seno Gumira Ajidarma serta majalah MotoGP. Semuanya buku-buku asli Indonesia.