« Home | Idealisme dan Komunitas » | Quo Vadis Penerbitan Indonesia » | Satu Lagi Alasan Saya Tidak Respek pada Infotainment » | Blogging? » | People Should Not Be Afraid Of Their Governments » | Pemimpin yang Menipu » | Teater Koma dan Regenerasi Organisasi » | Hukuman » | Pramoedya Ananta Toer and Christian Education » | Curse of The Golden Flower »

Penghormatan Terakhir Sebagai Penghinaan Terakhir

Perjalanan ke UI Salemba tanggal 24 Maret kemarin sungguh menjadi perjalanan yang tidak akan terlupakan. Bukannya dapat sampai di UI dengan kesegaran untuk mengikuti CISA Review Course, saya malah hampir mengalami kecelakaan.

Apa penyebabnya? Mungkin (kebetulan) karena saya berpapasan dengan iring-iringan rombongan pengantar jenazah. Penghormatan terakhir, sebuah prosesi yang sakral. Kegiatan dimana kita sebagai manusia yang masih hidup (secara fisik) memberikan upaya kita untuk mengantarkan jasad fisik orang yang kita cintai ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Namun apa daya, prosesi yang seharusnya khidmat dan mendatangkan empati bagi orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan iring-iringan ini justru menjadi prosesi yang membuat orang-orang mencibir. “Hanya” karena tingkah laku para pengiring yang tidak kenal sopan santun berlalu lintas. Dengan kasarnya menghentikan kendaraan lain, mengayunkan bendera kuning mereka tepat di depan muka pengendara motor yang mereka susul, meneriakkan kata-kata yang tidak etis, dan berbagai tindakan lainnya. Bahkan hal yang sebenarnya sangat sederhana: mengenakan helm bagi mereka yang menggunakan sepeda motor pun tidak mereka lakukan.

Apa yang ingin mereka capai sebenarnya? Apakah memang mereka benar-benar sedang menghormati si almarhumah? Atau malah mereka sebenarnya ingin menghina si almarhumah dengan menunjukkan bahwa yang ada di sekeliling si almarhumah selama hidupnya hanyalah orang-orang yang tidak kenal tata krama, tidak menghargai orang lain? Orang-orang yang hanya dapat menyatakan penghargaan dengan cara yang tidak menghargai? Bahkan orang-orang yang tidak menghargai nyawanya sendiri dengan melakukan aksi-aksi akrobatik di jalanan?

Bukannya mendatangkan rasa hormat, empati, dan mem beri jalan secara sukarela, mereka malah membuat pengguna jalan yang lain hanya beranggapan bahwa satu lagi rombongan tanpa tata krama tengah beraksi di jalan. Alih-alih memberikan penghormatan terakhir melalui prosesi pengiringan jenazah, mereka justru memberikan penghinaan terakhir.

Apakah kita juga pernah memberikan penghinaan terakhir?