Monday, December 31, 2007

Libur Akhir Tahun

Libur t’lah tiba! Libur t’lah tiba!

Lagu anak tersebut kembali banyak melantun akhir-akhir ini. Ya, liburan akhir tahun yang ditunggu-tunggu. Dan untuk liburan kali ini, terasa sedikit berbeda dengan adanya aktivitas yang menunggu. Mulai dari jadwal liburan yang bertabrakan dengan rencana mudik keluarga—yang berarti tahun ini saya ada di rumah sendiri selama liburan; pelayanan melalui pementasan drama malam Natal; pementasan Teater Jum’at Malam di perayaan Natal Pemuda GKI Kayu Putih dan GKI Delima; serta rencana pementasan TJM di kebaktian akhir tahun.

Segudang kegiatan, segudang kesibukan! Akan tetapi tetap saja ada waktu-waktu kosong yang sudah selayaknya diisi. Hmm... merupakan suatu godaan tersendiri untuk hanya menghabiskannya dengan membaca buku (suatu kemewahan tersendiri di tengah-tengah kesibukan di hari kerja biasa). Masih ada setumpuk buku (dan beberapa megabyte e-books) yang belum dibaca. Sangat mengasyikkan untuk terjun dalam dunia pengetahuan yang disediakannya.

Akan tetapi, apakah dengan demikian berarti liburan ini memang akan menjadi liburan soliter? Sebaiknya tidak! Liburan juga merupakan kesempatan untuk kembali menyegarkan ikatan sosial dengan rekan-rekan yang lain. Kesempatan untuk kembali menjadi makhluk sosial dalam arti sesungguhnya. Ketika kadang pertemuan dengan teman-teman akhirnya banyak menjadi pertemuan dalam konteks “profesionalisme” rekan, liburan ini menjadi hari-hari dimana kita dapat lebih mengenal natur masing-masing.

Liburan yang baik adalah liburan yang dapat diisi dengan seimbang: kebutuhan untuk menikmati waktu sendiri—dan kebutuhan untuk kembali menjadi sosial.

Sudah banyak acara—baik yang dijalani sendiri maupun bersama—yang saya nikmati di liburan ini: membaca buku-buku yang selama ini teronggok, mempersiapkan acara Gereja, layar tancap bersama, wisata kota, atau bahkan hanya sekadar chit-chat dengan teman-teman.

Bagaimana kita menjalani liburan kita? Sederhana, namun merupakan gambaran kualitas hidup pribadi dan sosial kita.

Sacrifed @ A Christmas Eve

It’s Christmas Eve. I was there in the newly baptized building of GKI Kayu Putih during the time of the preparation and the Christmas Eve Service itself. And there it was, the time of struggling emotions.

When personal ambitions are set above common-sense, even Church-members could do unimaginable things. Is it okay to sacrifice several peoples’ health solemnly for the good of a greater number of people? If greater number is always better, it was a very simple Christian life: sacrifice one brother to reach ten other peoples. Is that the way it was supposed to be done? In such a simple equation?

When such way is taken, maybe it is not a service at all. Maybe it’s just our ambition that overtook and overshadows ourselves.

How Flat Should You Go?

You can “rent” an Indian woman’s womb as a “growing-ground” for your baby!

This world is getting flatter as Thomas L. Friedman put it. But at what cost? If humans do forgot even the very basic ethics as seen in the womb-renting case, what kind of monstrous society awaits us in our ever-flatting world?

Is this just one of the reason of why some narrow-minded Christians said that science and globalization is their enemy (reminds me of several peoples I have met during my twenty-something years life)? I do not know, but I’m sure that we should welcome science not as an enemy, but as a friend—as long as we realize how flat should we go.

Written during the times of rethinking The World is Flat.

Tuesday, December 25, 2007

GKI Kayu Putih dan Goenawan Mohamad

Di malam Natal ini saya menikmati ibadah di gedung baru GKI Kayu Putih. Di malam Natal ini saya terpana melihat “metamorfosis” yang dialami gedung itu.

Tapi apakah Gereja itu? Apakah Rumah Tuhan itu? Teringat pada satu petal dalam buku Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai tulisan GM.

Demak: Pada suatu hari yang mungkin tak sebenarnya terjadi di abad ke-16, dengan sabar sembilan orang wali mendirikan mesjid pertama di kota pantai utara Jawa ini. Beratus-ratus tahun kemudian cerita terus beredar, bahwa salah seorang dari mereka, Sunan Kalijaga, menyusun tiang mesjid di Demak itu dari tatal: serpihan kayu yang tersisa dan lapisan yang lepas ketika papan dirampat ketam.

Saya bayangkan dengan takjub: sebuah mesjid yang ditopang oleh yang terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata — bukan sebuah rumah Tuhan yang berdiri karena pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan tahta.