Sunday, November 14, 1999

Ide Pembuatan Gebyar Nusantara 1997 dan Tanggapannya

Menurut Bapak TB. Silalahi, selaku Ketua Koordinator dan Pembina Gebyar Nusantara 1997 yang berhasil kami (tim Inspirath) wawancarai, beliau mengatakan bahwa ide pembuatan Gebyar Nusantara 1997 beliau dapat dari Pesta Olah Raga Olimpiade yang selalu menampilkan identitas bangsa dan kemajuan teknologi pada opening ceremonial­-nya. Beliau menambahkan bahwa budaya bangsa amat menentukan nasib bangsaitu sendiri dan budaya Indonesia merupakan modal yang sangat besar dalam menentukan nasibnya. Dengan kegiatan ini kita berusaha untuk menunjukkan bagaimana budaya kita itu pada bangsa luar. Untuk itu kriteria yang digunakan dalam pemilihan etnik adalah persamaan antaretnik dan dengan pemilihan sekolah. Berdasarkan kriteria tersebut diharapkan mampu mewakili berbagai golongan yang ada dalam bangsa Indonesia. Misalnya Pangudi Luhur yang menonjolkan agama Kristen (Kristiani; red.) dan SMU-SMU Negeri yang menonjolkan agama Islam. Kurangnya kesadaran dan kesungguhan dari para siswa merupakan kendala paling berat bagi beliau. Di akhir wawancara, ia hanya berharap agar generasi muda yang telah diberi kesempatan untuk mengharumkan nama bangsa tersebut mau menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Selain untuk kepentingan pribadi, gunakanlah kesempatan itu untuk kepentingan bangsa dan negara. “Pilih yang terbaik bagimu, pilih juga yang terbaik bagi bangsamu!,” pesannya.

Rupanya hal bernada serupa juga dilontarkan oleh Kris Soewardjo, koreografer merangkap koordinator umum dari 37 koordinator lainnya dalam proses pelatihan GEBYAR NUSANTARA 1997 selama ini. Diakuinya bahwa seringkali ada anak yang tidak mau menurut, walaupun masih dalam batas-batas wajar dan tidak keterlaluan. Tetapi baginya, hal tersebut merupakan kendala yang ckuup berat. Sedangkan dari pengalamannya mengajar siswa T27a dalam Yayasan Krisna Indonesia yang berhasil ia dirikan, ternyata memberi masukan baginya untuk memilih T27a untuk ikut serta dalam acara pembukaan SEA Games XIX. Menurut mahasiswa IKJ jurusan tari yang sebelumnya pernah bergabung dengan Guruh Soekarno Putra (GSP Production dan Suara Mahardika) ini, T27a termasuk dalam kriteria sekolah terpilih karena siswanya yang disiplin dan mudah diatur. Ketika ditanyai soal tarian, ia menjelaskan bahwa tarian yang dibawakan tersebut sebenarnya hanya memeprmainkan sistem garis dan level seni yang digabungkan dengan cabang-cabang olahraga. Namun jika dilihat perkembangannya selama ini, ia berharap banyak agar SEA Games XIX ini bisa sukses dan selamat, baik tariannya, musiknnya, atletnya dan hal-hal lainnya.

Selain Mas Kris, koordinator lainnya adalah Mas Yohanes Nyoman Agung Sutomo (Sanggar Tari Putri Indonesia). Ia berpendapat bahwa hanya dipilihnya 12 etnik tersebut disebabkan oleh keterbatasan waktu atau merupakan keputusan dari atasan. Menurutnya, diambilnya 12 etnik yang terpilih itu diambil karena dirasakan familiar. Dalam menghadapi bakat yang tidak merata, Mas Nyoman mengatakan bahwa yang ia targetkan bukan pada bakat, melainkan keseragaman tariannya. Dan menurutnya 85% sudah ada keseragaman dan itu sudah mendekati harapannya. Sedangkan terpilihnya siswa-siswi SMU (bukan mahasiswa atau SMP) dalam GEBYAR NUSANTARA 1997 ini, menurutnya karena dilihat dari keberhasilan yang dialami Chiang Mai dalam SEA Games XVIII yaitu menampilkan siswa-siswa SMU dalam acara pembukaannya. Hal inilah yang mendorong indonesia untuk mencoba dan menerapkannya dalam SEA Games XIX, Jakarta.

Mbak Pramungki Zakia (Kiki), salah seorang pelatih lainnya mengucapkan terima kasih kepada SMU-SMU yang telah mendukung pelaksanaan SEA Games. Ia berpendapat bahwa para peserta rapi, mau berlatih dan benar-benar berkorban untuk bangsa dan negara dalam pelaksanaan SEA Games XIX ini.

Tak kalah pentingnya adalah Mas Deni, seorang koordinator yang juga melatih etnik Sulawesi Selatan yang diwakili oleh T27a. selain itu ia juga menjabat sebagai penata tari umum. Latar belakang di bidang tarinya secara formal belum ada. Namun ia pernah mengikuti beberapa klub-klub tari selama beberapa tahun. “Tarian-tarian etnik sebenarnya merupakan tari-tarian daerah yang sedikit dimodifikasi,” demikian jelasnya. Mengenai kendala, menurutnya yang paling berat adalah untuk mengumpulkan 5.000 orang siswa dari berbagai corak budaya. “Sekolah-sekolah yang dipilih adalah sekolah-sekolah yang dirasa tidak bermasalah,” tambahnya. Setiap etnik mempunyai keunikan tarian masing-masing, misalnya Sulawesi Selatan (tarian yang dibawakan T27a) dengan kipasnya dan Aceh dengan gerakannya yang melibatkan banyak peserta. Suka duka dalam melatih baginya adalah masalah waktu yang disebabkan oleh perbedaan jadwal tiap sekolah/siswa. Ia berharap agar GEBYAR NUSANTARA 1997 ini sukses dan semua peserta berhasil. Pendapatnya mengenai anak-anak T27a, sebenarnya semuanya baik, hanya saja seringkali anak-anak Theresia mengeluarkan pendapat dengan tiba-tiba dan tidak memperhatikan tempatnya. Namun ia juga salut pada pendapat-pendapat yang seringkali ada benarnya. Ia berpesan agar berlatih yang rajin, jangan sampai latihan yang sudah dilakukan selama ini sia-sia saja.

Bila diatas sudah diulas tanggapan-tanggapan dari para pelatih dan koreografer, sekarang saatnya untuk menguals pendapat para peserta, khususnya peserta dari sekolah lain.

Mureen, Monique dan Florensia dari SMU St. Ursula merasa bahwa pengalaman-pengalaman selama latihan ini tidak enak, sebal sekali dan capek. Ulangan seringkali tidak mereka ikuti, pelajaran ketinggalan dan mereka yakin nilai raport cawu I pasti jeblok. Namun mereka berusaha mengatasi masalah ini dengan membawa buku dan belajar di waktu-waktu istirahat yang disediakan. Kadang-kadang mereka juga kabur dari latihan, entah ke warung makanan atau penjual minuman.

Dixy dari SMU PSKD yang menjabat sebagai komandan etnik Yogya, menyatakan pengalamannya yang menurutnya enak, wajib diikuti dan butuh tanggung jawab yang besar. Diceritakanbahwa di awal latihan ia merasa agak grogi dan takut salah. Apalagi ia menjadi patokan yang posisinya di depan dan akan langsung disaksikan oleh Presiden dan para menteri. Namun kini ia merasa mampu mengatasi perasaan-perasaan tersebut. Ia begitu senang karena mendapat banyak teman baru tetapi duka yang dirasakannya adalah capek, panas dan lapangan yang berdebu.

Uli dari SMU PSKD juga berpendapat bahwa sebenarnya latihan pembukaan SEA Games ini menyenangkan, karena bisa bertemu dengan anak-anak SMU lain dan menjalin hubungan antarpelajar. Duka yang dikemukakannya adalah keharusan untuk menahan panas, debu dan kewajiban untuk belajar dengan latihan yang cukup melelahkan.

Tulisan pernah dimuat di majalah Inspirath

Sunday, November 07, 1999

Renungan dalam Kematian

“Ahh…!!!” Teriakanku dalam kesadaranku kembali. Namun, dimanakah aku? Dimana ini? Sekelilingku hanya terowongan gelap. Dan kenapa aku merasa ditarik ke depan? Ditarik tanpa bisa melawan! Namun tidak terlihat apa-apa. Gelap, hitam, temaram semuanya. Apa yang menarikku? Dimana ini sebenarnya? Kupandangi tubuhku. Namun, dimana pula tubuhku? Kenapa aku bisa merasakan jiwaku, namun tanpa tubuh? Tuhan, tolong aku. Dimanakah aku sebenarnya? Mengapa tubuhku tidak ada?

Mendadak pikiran itu datang. Aku sudah mati! Kini hanya ada jiwaku saja. Tanpa ada tubuhku! Dan kini aku sedang mengarungi terowongan menuju ke tempat penghakiman terakhir. Tidak! Ini tidak mungkin! Mengapa aku sudah meninggal? Apa yang terjadi?

Seperti merupakan jawaban tehadap pertanyaanku, kenyataan itu muncul. Aku diingatkan pada masa-masa kehidupanku di dunia. Dimulai ketika aku masih kecil. Ahh, betapa indahnya saat itu. Aku tahu keluargaku memang bukan keluarga yang berada. Kami hanyalah keluarga gelandangan. Bapakku hanya seorang pemulung. Sementara kakakku satu-satunya menjadi seorang pedagang asongan. Untuk membayar uang sekolahku. Aku memang tidak bersekolah di tempat yang mewah, namun tetap saja bersekolah. Ibuku tinggal di rumah, atau lebih tepat disebut gubuk kami di bantaran kali Ciliwung merawat adik-adikku. Aku ingat sekali tahun-tahun itu. Dimana tiap pagi aku dengan bangga dan bersemangat meminta restu sekolah kepada kedua orang tuaku.

Ahh…!!! Sampai kapan terowongan ini berakhir? Panjang sekali! Atau, bahkan tidak akan berakhir sama sekali? Apa ini yang disebut neraka? Tanpa api seperti gambaranku selama ini. Hanya terowongan gelap tak berkesudahan?

Aku dapat bersekolah dengan baik sampai SMP. Sesudah itu aku drop-out. Tidak ada biaya, demikian kata bapakku. Aku juga sadar kalau memang biaya untuk adik-adikku tidaklah kecil. Kakakku ketika itu juga terpaksa berhenti sekolah demi aku dan adik-adikku. Jadi kelihatannya ini giliranku. Semenjak itu aku berdagang koran di bilangan Slipi. Namun aku tetap berhubungan dengan kawan-kawan lamaku di SMP sehingga aku paling tidak dapat belajar kecil-kecilan dari mereka. Itu awalnya. Namun kemudian aku semakin sibuk berdagang sehingga mau tidak mau jam belajarku hilang sedikit demi sedikit.

Sudah berapa lama sebenarnya aku mengarungi terowongan ini? Lima menit? Lima belas? Atau bahkan sudah satu jam lebih? Entahlah? Aku sudah lupa berapa lama. Lagipula, apa waktu berguna di tempat yang kutuju?

Sekolah. Kalau diingat-ingat lucu juga. Sewaktu aku masih bersekolah entah berapa juta kali perasaan malas menghinggapiku. Aku tidak mendengarkan guru, tidak mengerjakan PR dan latihan, bahkan tidak jarang aku membolos sekolah. Namun aku ingat sekali ketika aku mulai berdagang, mengamen dan bahkan menjadi joki 3 in 1. Rindu. Rindu sekali aku akan bangku sekolah. Rasanya malu dan iri sekali kalau melihat anak-anak lain mengenakan baju seragam dan menunjukkan wajah cerah ke sekolah. Apalagi kalau melihat kakak-kakak yang sudah berpakaian bebas ke tempat yang namanya universitas. Universitas. Katanya kalau disana cara belajarnya beda. Lebih bebas. Namun entahlah…. Aku belum pernah merasakannya. Dan memang tidak akan pernah merasakannya.

Kegelapan. Sampai kapan kegelapan ini akan menyelimuti aku? Kegelapan yang benar-benar asing bagiku. Tidak seperti kegelapan malam atau kegelapan di dalam gubukku. Kegelapan yang benar-benar kelam. Menyeramkan.

Aku menjajakan koran selama beberapa tahun. Dan selama itu tiap hari aku sempat membaca koran yang kujajakan itu. Hasilnya, lumayan lah. Paling tidak aku tidak ketinggalan informasi dan tren. Ingat tentang tren aku jadi ingat waktu internet masuk disini. Aku memang tidak pernah menyentuh dan merasakan benda yang namanya internet itu. Maksudku internet betulan, bukan indomie telor kornet. Sebenarnya apaan ya internet itu? Apa emang benda atau …..? Koq orang-orang bisa tertarik banget ama benda itu? Malah aku sempat baca katanya ada orang yang kecanduan sama intenet. Hah! Ada-ada saja dunia ini. Mungkin internet itu sejenis ganja untuk orang kaya, yah? Buktinya bisa sampe ketagihan. Padahal waktu itu aku pernah nyoba-nyoba ke warnet, warung internet. Saking pengen tahunya aku tentang internet, aku nekat ngintip bahkan pernah nerobos masuk ke warnet. Tapi aku nggak ndapetin benda apapun yang asing bagiku. Semuanya sudah kuketahui. Cuma ada komputer, komputer dan komputer. Satu hal lain lagi yang juga tak pernah kusentuh. Tak kudapatkan internet, malah kudapatkan hardikan dan dorongan dari pramuniaga warnet itu yang mengusirku. Malu sekali rasanya waktu itu. Apalagi sewaktu handphone juga merasuki jiwa orang-orang borju di ibukota. Kayaknya hampir tiap orang bermobil mewah pasti nyupirnya sambil nenteng handphone. Dan nggak bisa kulupakan gaya anak-anak remaja seumuranku. Hah? Apa memang mereka memerlukan handphone itu atau cuma mau ikut-ikutan tren saja sih sebenarnya? Semuanya memegang atau mengantongi benda kecil hitam gelap.

Gelap! Gelap seperti terowongan ini. Apa bapakku yang meninggal sebelumku juga merasakannya? Bagaimana perasaannya ketika melewati terowongan ini? Atau, terowongan ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu? Tak tahulah.

Bapak. Bila kuingat bapakku, dadaku selalu terasa sesak dan penuh penyesalan. Ahh…. Kalau saja aku bisa membalikkan waktu. Mungkin tanpa ada aku, bapak masih hidup sampai sekarang. Ini semua gara-gara aku nekat mencoba menjadi tukang ojek payung sewaktu musim hujan tahun 1996. Rencananya sih sebenarnya uang hasil mengojek itu ingin kuberikan bapak dan ibu. Buat mbantuin sekolah adik-adikku. Seminggu pertama semuanya lancar. Penghasilanku besar dan aku semakin berbangga diri. Namun memasuki minggu kedua aku ingat sekali betapa panasnya tubuhku. Aku tidak bisa bangun selama hampir empat hari. Terpaksa uang hasil tabungan kedua orang tuaku dipakai untuk menebus puskesmas dan obat-obatanku. Memang kami kurang terdidik, namun kedua orang tuaku sudah tidak percaya lagi ke dukun-dukunan. Aku sempat dihardik kedua orang tuaku gara-gara ulahku mengojekkan payung itu. Namun sesudah kuterangkan maksudku memang keduanya memaklumi dan memaafkanku dengan tambahan aku tidak mengojekkan payung lagi. Aku tahan untuk menuruti nasehat itu selama 3 minggu, namun pada minggu keempat kembali payung menjadi sahabatku dalam hujan lebat di ibukota. Selama satu, dua hari tindakanku memang tidak disadari oleh kedua orang tuaku, namun akhirnya keduanya menjadi curiga karena tiap hari aku pulang dalam keadaan basah kuyup sambil membawa satu-satunya payung milik keluargaku. Hingga akhirnya bapakku menyelidiki tingkah-lakuku di suatu hari yang berhujan. Mungkin memang sudah nalurinya yang membawanya ke Slipi, tempat mangkalku. Masih sangat segar dalam ingatanku teriakannya ketika ia melihat diriku, namun aku malah lari karena takut dimarahi. Kelihatannya bapakku mencoba mengejarku, namun aku tak melihatnya secara jelas. Mendadak terdengar suara rem berdecit dan keributan massa di belakangku. Dan sebuah teriakan, teriakan yang sangat kukenal. Teriakan dari suara yang sangat akrab di telingaku, suara yang menjagaku setiap hari. Suara bapakku. Ketika kubalikkan badanku dan kuterobos kerumunan orang-orang, hanya jasad berlumuran darah bapakku yang kutemukan. Hanya jasad, tanpa nyawa. Tanpa jiwa. Bapakku. Bapakku yang begitu menyayangiku telah pergi karena ulahku.

Bapak. Kini anakmu yang durhaka ini mengikuti jejakmu. Namun apakah memang betul kuikuti jejakmu? Apakah kau juga melewati terowongan ini? Dan bagaimana dengan ibu?

Semenjak kematian bapak, sikap ibu dan saudara-saudaraku terhadapku mulai berubah. Kadang-kadang mereka dapat menjadi sangat dingin terhadapku. Namun sebenarnya yang benar-benar kucemaskan adalah ibuku. Kelihatannya ia sangat terpukul dengan kematian bapak. Kesehatannya kian memburuk. Sakit-sakitan. Uang tabungan kami hampir ludes untuk memeriksakan kesehatannya ke puskesmas setempat. Namun tidak kunjung nampak kemajuan kesehatannya. Sampai akhirnya saat yang kutakutkan itu terjadi. Satu lagi orang yang kusayangi terengut dari hidupku. Kini aku benar-benar yatim piatu.

Bapak. Ibu. Maukah kau memaafkan anakmu ini? Mungkin memang sudah terlambat bagiku. Karena kini aku terperangkap dalam terowongan ini. Kelihatannya terowongan ini tidak berujung, hanya gelap, gelap dan gelap. Ahh…. Betapa rindunya aku akan cahaya. Cahaya kehangatan dari bapak dan ibuku.

Selepas perginya kedua orang tuaku itu, aku dan kakakku semakin giat membanting tulang di jalanan. Aku sadar tanpa usaha keras kami, adik-adikku tidak akan mendapatkan masa depan yang baik. Namun sampai kapan kami akan mampu bertahan demikian? Kelihatannya kakakku juga sudah mulai berkurang kekuatannya. Ia tidak mampu lagi bekerja sampai malam seperti dahulu. Berat. Berat sekali kini beban keluarga yang harus kutanggung. Namun aku tidak akan mengecewakan keluargaku lagi, tidak akan kuulangi kesalahanku yang dulu.

Sampai kapan kegelapan ini akah menyelimutiku? Kembali pertanyaan itu berkecamuk dalam anganku. Sendiri dalam kegelapan. Alangkah tidak enaknya. Kurindukan sekali seorang teman di saat seperti ini.

Aku menjadi ingat pada teman-temanku. Entah berapa kali aku bertemu kembali dengan teman-teman lamaku semasa aku menggelandang. Kebanyakan memang sukses dan meneruskan pendidikannya. Namun bukan berarti tidak ada yang akhirnya seperti aku, menggelandang. Dan yang lebih parah lagi tidak sedikit yang jatuh ke dalam lembah kegelapan.

Kegelapan seperti yang menemani aku sekarang ini. Kegelapan yang tidak berkesudahan. Seorang guruku pernah berkata, “hati-hati pada kegelapan. Sekali kau jatuh ke dalamnya, selamanya kau akan berada di dalamnya.” Huh! Kuharap kata-katanya itu tidak benar. Sebab kini aku sudah benar-benar tidak tenang melihat kegelapan ini. Kegelapan tanpa teman.

Tidak jarang temanku yang jatuh dalam kriminalitas itu menawariku untuk bergabung dengan mereka. Memang nampaknya mereka jauh lebih kaya sekarang. Jauh lebih mengundang, dan juga mengundangku untuk bergabung dengan mereka. Bahkan akhirnya aku pun sempat terjatuh mengikuti mereka. Ketika itu aku mencopet seorang ibu yang kelihatannya terkantuk-kantuk dalam sebuah bus. Ahh… kejahatanku sudah hampir sempurna ketika mendadak si ibu berteriak-teriak sambil menudingku. Dan dalam beberapa detik saja kurasakan puluhan pukulan mendarat di tubuhku, mengantar diriku semakin mendekat ketidaksadaran. Di antara ketidaksadaranku, aku masih sempat mendengar teriakan beberapa orang, termasuk ibu tadi untuk menyetop penganiayaan terhadap diriku. Namun apa daya, massa memang sudah terlalu panas dan beringas. Hingga akhirnya mereka datang. Mereka yang biasanya kutakuti karena sering menggusur pemukiman kumuh dan juga mengusirku ketika menjajakan daganganku. Mereka yang kadang dibenci masyarakat karena tindakannya sering semena-mena. Mereka yang disebut polisi. Walaupun aku juga pernah mendendam kepada mereka, namun di saat seperti ini, mereka sangat kutunggu-tunggu. Seiring kedatangan mereka, bubarlah kemumunan massa meninggalkanku. Meninggalkan si korban keberingasan. Singkat kata, entah bagaimana caranya kakakku dapat membebaskan aku dari tahanan. Mungkin dengan bantuan sifat umum mereka yang hingga kini masih terkenal, yaitu cukup dengan sodoran amplop? Yang jelas, sampai di gubukku, entah berapa ratus kata yang kuterima dari kakakku. Aku merasa malu sekali. Malu pada keluargaku. Malu kepada diriku. Malu kepada Tuhan atas pelanggaranku. Malu kepada segalanya.

Kegelapan masih menjadi temanku. Mungkin akan menjadi temanku selama-lamanya? Atau bahkan kegelapan telah menjadi predator yang baru saja menelan jiwaku ini? Menelanku untuk kemudian dilumat perlahan-lahan hingga akhirnya menjadi satu dengan kegelapan itu sendiri?

Ahh….. Aku benar-benar rindu kepada temanku. Terutama seorang teman karibku. Dia memang lebih berhasil dibandingkan aku. Jurusan elektro di sebuah universitas yang memang diidam-idamkannya sejak dulu berhasil diraihnya. Aku tahu ini ketika aku bertemu dengannya di dekat kampusnya. Dia bercerita tentang kehidupannya kini, dengan penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Sementara aku, apa yang dapat kubanggakan? Gubukku? Prestasiku sebagai tukang koran dan pencopet gagal? Namun kusadari bahwa temanku ini memang benar-benar seorang teman. Bulan-bulan berikutnya entah sudah berapa banyak bantuan darinya kuterima. Otomatis keluargaku pun sangat terbantu olehnya.

Namun dimanakah ia kini? Bukankah seharusnya ia juga ada di dekatku kini? Atau memang ia mendapat tempat lain yang lebih layak bagi orang sepertinya?

Ingatanku kembali terbang ke pertengahan tahun 1998. Bulan Mei tepatnya. Keadaan negaraku semakin panas. Teman karibku ini entah telah berapa kali bercerita padaku tentang aksi mahasiswa teman-temannya menuntut pemerintah yang banyak melakukan praktek KKN. Korupsi Kolusi Nepotisme. Padahal seingatku dulu KKN itu artinya Kuliah Kerja Nyata. Mungkin memang jaman berubah berarti arti suatu singkatan juga berubah, ya? Katanya semua universitas kini aktif memerangi ketidakadilan hasil karya pemerintah. Termasuk universitasnya dan dirinya sendiri. Memperjuangkan hak-hak rakyat, katanya. Rakyat. Berarti aku termasuk, pikirku dalam hati. Apa adil kalau aku tidak ikut memperjuangkan hakku sendiri, pikirku. Pikiranku kembali menerawang.

Menerawang biasanya tidak dilakukan dalam kegelapan. Namun itulah yang kulakukan saat ini. Menerawang. Mencoba melihat sebisaku kalau-kalau ujung terowongan gelap ini sudah di pucuk penglihatan. Namun ternyata belum juga. Dan entah kapan akan kujamah.

Kuingat peringatan kakakku untuk berhati-hati sebelum aku mengikuti langkah temanku menuju kampusnya. Katanya hari ini akan diadakan aksi mahasiswa besar-besaran. Banyak yang ikut, tidak harus mahasiswa asal peduli kepentingan rakyat. Salah satu pesertanya adalah aku. Ya, aku. Seorang gelandangan. Namun aku peduli terhadap nasib keluargaku, nasib masyarakatku juga. Sudah bulat keputusanku untuk membantu mahasiswa dalam gerakan ini. Sesampainya di kampus temanku ini sudah banyak orang berkumpul. Kebanyakan mahasiswa dan masyarakat umum. Namun aku sempat memperhatikan sekumpulan orang-orang berpakaian hijau loreng-loreng berjaga-jaga di lingkaran luar kerumunan massa. Tentara, begitu namanya. Waktu itu orasi sudah dimulai. Seorang mahasiswa meneriakkan yel-yel perjuangan dan pidato yang banyak kata-katanya tidak dapat diraih oleh otakku yang hanya sampai SMP ini. Aku pun kembali jatuh ke lamunan.

Melamun. Mungkin hanya itu yang dapat kulakukan sekarang. Tanpa akan kejelasan terowongan gelap ini. Kelihatannya melamun memang penyelesaian terbaik.

Namun tiba-tiba lamunanku terpecah. Suara letusan, letusan yang sangat nyaring. Dan mendadak semua orang di sekitarku sudah berlarian tak tentu arah. Apa yang terjadi? Temanku segera menarik tanganku yang kuikuti dengan refleks ikut berlari mengikutinya. Kelihatannya ia hendak menuju ke salah satu gedung kampusnya. 100 meter… 50 meter.. 20 meter… Gedung penyelamat itu sudah sangat dekat ketika tiba-tiba sebuah letusan terdengar lagi dan temanku itu jatuh. Jatuh dengan berlumuran darah. Secara refleks kutahan dia, namun kelihatannya dia mengalami luka yang cukup serius. Baru saja aku hendak berteriak meminta bantuan ketika mendadak terdengar suara letusan itu lagi. Kali ini lebih keras dan terasa mengiang di dalam telingaku. Dan mendadak kurasakan nyeri tak tertahankan di dadaku dan kutemukan darah berlumuran di tubuhku. Tubuhku mulai goyah dan lunglai. Kesadaranku sirna dan yang kulihat hanyalah….

Kegelapan. Kegelapan yang hingga masih setia menemaniku walaupun aku telah jenuh olehnya. Ahh…!!!! Apa yang harus kulakukan untuk berpisah darinya? Apa? “Tuhan, tolong bantu aku. Aku memang sudah berdosa besar. Mengecewakan-Mu. Mengecewakan semua orang. Namun ampunilah aku. Bantulah aku,” ratapku dalam kegelapan itu. “Dan bantu pula sudara-saudaraku serta semua orang lainya,” tambahku.

Dan sekonyong-konyong seperti sebagai jawaban atas doa ratapanku itu, terowongan gelap itu berakhir. Berakhir! Dan kutemui sebuah gerbang putih yang megah. Gerbang yang membatasi terowongan itu dengan suatu taman yang indah. Gerbang yang dengan anggunnya terbuka dan mengundangku. Kehangatan. Kehangatan dari gerbang itu menerpaku dan dibaliknya kutemukan pula kedua orang tuaku dan temanku yang dengan segera menghampiriku dan mengundangku ke dalam. Kulangkahkan kakiku--kakiku, kini tubuhku telah kembali!--untuk menuju apa yang kutahu pasti merupakan jawaban dari doaku. Seseorang yang pasti menerimaku dan menerima kalian semua yang bertobat dan mau menerima kuasa-Nya!

Bus Kota

Setelah pulang sekolah siang itu, seperti biasa aku sedang menunggu bus di Sarinah. Selain menumpang teman, bus kota memang menjadi pilihan terbaik bagi anak kost seperti aku. Tak sabar juga rasanya menunggu kendaraan umum ini. Entah mengapa, aku selalu mempunyai perasaan bahwa bus bila kutunggu akan muncul setelah waktu yang lama, namun bila bus itu sedang tidak kutunggu, ia akan selalu muncul.

“Pancoran!! Pasar Minggu!!” Teriakan kenek bus itu memecah lamunanku. Itu dia bus yang kutunggu-tunggu. Aku segera bergegas berlari menuju bus itu. Namun sesampainya di pintu bus, kenek itu malah menghalangiku. “Pelajar tunggu bus lain saja!” hardiknya kasar. Bus pun berlalu meninggalkanku.

Dalam hati aku mendongkol juga. Begitulah memang perlakuan awak bus yang seringkali diterima oleh pelajar. Kelihatannya kalangan yang satu ini benar-benar musuh bagi mereka. Memang beberapa oknum pelajar suka mengganggu mereka, namun ‘kan hanya beberapa. Aku yakin aku tidak termasuk golongan yang beberapa itu. Mungkin mereka juga membenci pelajar karena ongkos yang dikenakan kepada pelajar sangat murah. Aku tidak tahu ini kesalahan si pelajar, awak bus atau pemerintah? Ada yang mengatakan ini kesalahan pelajar. Mereka seharusnya sadar harus membayar sesuai tarif umum (?). ada yang mengatakan ini kesalahan awak bus yang melanggar peraturan. Aku yakin orang yang mengatakan ini belum begitu paham tentang kehidupan awak bus yang nota bene harus membanting tulang untuk mencukupi kehidupan mereka yang pas-pasan. Namun memang sebenarnya ada benarnya juga pendapat ini. Adapula yang mengatakan ini kesalahan pemerintah yang memasang tarif semena-mena tanpa memberi subsidi kepada pengusaha bus ¾ masalahnya uang untuk subisidi itu sudah habis untuk membangun pabrik mobil, membuat pesawat dan membangun lahan peternakan di Jawa. Yang kena getahnya, ya jelas awak bus yang dikenakan setoran mencekik leher. Awak bus melampiaskannya pada pelajar. Jadi sekali lagi, siapa yang salah?

Bus lain datang. Beruntung kali ini mengijinkan aku masuk. Segera kucari kursi yang strategis. Aku pun mendaratkan tubuhku di kuris plastik PVC bus itu. Kursi yang sudah pecah sana-sini dan dipenuhi oleh coretan tangan-tangan jahil dan tak bertanggung jawab. Coretan manusia-manusia yang (mungkin) merasa tidak memiliki masa depan lagi. Baru saja aku ingin membuka jendela, sesuatu yang akhirnya kuurungkan karena kenyataan bahwa kaca jendela bus itu sudah pecah sana-sini, bus sudah berjalan kembali. Membawa aku, membawa penumpang ke tujuan mereka.

“Cring… cring!!” Bunyi uang logam di tangan si Kenek. Tanda penumpang baru harus membayar ongkosnya. Tiba giliranku membayar. Kuberi ongkos sesuai peraturan.

“Nopek lagi! Kurang nih!” si Kenek membentakku.

“Saya pelajar, bang!” aku membela diri.

“Emang gue peduli? Udah bayar aja atau turun!”

melihat bus sedang berada di daerah yang cukup terkenal kriminalitasnya, aku pun terpaksa menurutinya. Kuberi kenek itu tambahan sesuai keinginannya. Ia pun berlalu. Kemudian kupandangi sekelilingku. Nampaknya tidak ada yang peduli dengan ketidakadilan yang kuterima ini, kecuali satu orang bapak.

“Kenapa tadi dibayar, dik?” si Bapak bertanya kepadaku.

“Kepaksa, Pak. Daerahnya bahaya gini,” jawabku tak bergairah.

“Harusnya sih nggak usah tadi,” tukasnya sebelum ia kembali ke Pos Kota di tangannya.

Aku sempat merasa panas juga karena sikapnya yang hanya berani menukasku ketika aku sudah keluar dari masalah tadi. Sementara sewaktu aku masih dalam masalah ia diam saja.

Kudengar kembali suara cempreng si Kenek. Kelihatannya ada pelajar lain yang mengalami ketidakadilan. Seperti biasa, tidak ada yang peduli sekarang. Nanti, setelah si pelajar membayar lebih barulah sang pahlawan-pahlawan kesiangan itu bereaksi.

Bus berhenti tiba-tiba. Semua penumpang cukup kaget dan terlempar. Ternyata bus hanya ingin menaikkan satu penumpang yang dengan anggun dan enaknya menyetop bus di tempat yang tidak seharusnya. Sebegitu parahkah mental awak kendaraan umum Indonesia?

Di belakang penumpang itu, membuntut seorang pengamen kecil. Kutaksir umurnya baru sekitar 7 tahun. Mengapa kau ada di sini dik? Bagaimana dengan sekolahmu? Namun ia takkan dapat membaca pikiranku. Dimainkannya alat musik buatannya sendiri, sebuah tutup botol bekas yang dipakukan ke kayu. Ia memperdengarkan suaranya.

Setelah sajian singkatnya usai, ia menyodorkan sebuah bekas kantong permen ke setiap penumpang. Ironis, hanya beberapa penumpang yang memberinya uang. Ironis, kelihatannya si kenek bus tidak senang dengan keberadaannya. Ironis, sang kenek meminta “uang konser” sebelum ia turun.

Beberapa penumpang baru masuk ke dalam bus ini. Bus pun menjadi sangat penuh. Sudah tidak ada ruang gerak lagi bagi para penumpang kini. Semakin pengap pula rasanya bus ini. Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, bagaimana bisa bus menampung orang yang begitu banyak. Dan yang lebih hebat lagi kelihatannya si kenek masih ingin memasukkan lebih banyak penumpang lagi.

Beberapa penumpang yang tadi merokok dengan sadar mematikan rokoknya. Namun beberapa perokok masih tetap “bertoleransi” untuk membagikan asap rokoknya dengan penumpang lainnya. Napas terasa semakin sesak pula dengan hadiah dari para perokok ini.

Aku mulai merasa mengantuk. Kulihat beberapa penumpang lainnya juga merasa sepertiku. Kulihat seorang ibu yang tidak kebagian kursi bahkan sudah seperti tidur berdiri. Aku pun tak mampu menahan kantukku. Kesadaranku pun sirna.

Entah sudah berapa lama aku tertidur ketika mendadak aku terbangun karena rem mendadak dan ribut-ribut dari satu sudut bus. Kulihat ibu tadi berteriak-teriak, “Copet! Copet!” teriaknya sambil menuding seorang pemuda tanggung. Ternyata ia telah menjadi korban pencopet yang kebetulan tertangkap.

Apa yang kutakuti terjadi. Penumpang bus segera menggiring si pencopet keluar, dan dalam beberapa detik saja sang pencopet itu telah merasakan puluhan pukulan. Keributan itu mengundang orang-orang sekitar yang dengan senang hati tampak ikut menghadiahkan pukulan dan tendangan ke badan pencopet yang kian menjadi bulan-bulanan itu. Beberapa orang tampak berusaha menenangkan massa yang sudah menggila. Kulihat ibu yang menjadi korban pencopetan itu termasuk salah satunya. Namun kelihatannya usaha mereka sia-sia saja. Pikiranku pun kembali melayang, “bila si ibu saja tidak mau menggebukinya, mengapa mereka yang tidak tahu apa-apa berhak menjadi hakim?”

Baru lima menit kemudian (Bagiku. Entah berapa abad bagi si pencopet.) aparat mulai muncul. Massa segera menyebar dan berlalu. Meninggalkan si pencopet. Meninggalkan si terhina. Meninggalkan manusia yang mereka anggap binatang. Mendadak kurasakan suatu perasaan di hatiku. Antara iba dan merasa puas melihat si pencopet. Kusadari ia butuh pertolongan, namun aku pun tidak mau menolongnya. Aku tidak lebih baik dari massa yang memukulinya. Mungkin malah lebih buruk. Kemelut dalam hatiku kembali bergejolak. Hati kecilku mengatakan bahwa aku tidak lebih baik dari si pencopet. Tidak lebih baik pula dari para pengeroyok. Lebih kejam dari binatang. Kusadari kebenaran dari hal itu. Namun aku memilih lebih untuk kembali ke bus. Mungkin aku memang seperti orang lainnya. Yang munafik. Yang hanya bisa berkata “jangan main hakim sendiri” namun di balik kata-kata itu dia-lah si hakim aspal itu.

Di dalam bus kulihat penumpang lainnya bersikap biasa-biasa saja. Seperti tidak ada yang baru saja terjadi. Mungkin bagi mereka inilah kehidupan yang biasa. Tanpa pencopet yang bisa digebuki, ini bukanlah hidup. Sayup-sayup aku mendengar percakapan dua orang dibelakangku. “Mestinya tadi gue lebih keras nggebuk bangsat itu! Biar mampus sekalian!”

Kurasakan tubuhku terhenyak mendengarnya. Mungkin orang-orang lain memperhatikanku, mungkin juga tidak. Tapi yang pasti kedua orang tadi menyadarinya. Mata mereka nampak menyelidik. Mata orang yang baru saja hampir membunuh dan ingin benar-benar melakukannya sekarang.

“Loe mau mbela copet gila itu?” tanya salah satunya padaku.

Kurasakan jantungku berdetak semakin cepat. “Tidak, bang. Tidak.” Hanya itu yang dapat meluncur dari bibirku.

“Bagus, loe ta’u ‘kan apa yang bakal gue bikin sampe loe bela bangsat itu!” hardiknya sambil berdiri dan turun dari bus itu. Kawannya mengikutinya.

Kulihat tatapan penumpang-penumpang lainnya tertuju padaku. Tatapan sinis. Tatapan yang sama dengan tatapan mereka pada si pencopet. Tatapan meremehkan.

Aku mulai merasa tidak enak. Akhirnya kuputuskan untuk tidak memperdulikannya dan kembali ke Inspirath yang ada di tanganku. Mulai kupikirkan ide untuk menulis artikel di majalah ini.

Mendadak pemuda berpakaian lusuh yang duduk di kursi depanku berdiri. Aku sempat binging juga melihatnya, namun kemudian kusadari apa tujuannya. Seorang ibu berbadan dua mengambil alih kursinya. Dalam hati kurasa kagum pada pemuda itu. Tak kusangka masih ada juga orang berhati mulia di Jakarta ini. Terlebih dengan dandanannya yang lusuh dan seringkali dihubung-hubungkan dengan kaum preman dan kaum terbuang di metropolitan. Namun tanpa kusengaja kulihat juga tatapan beberapa penumpang terhadap pemuda itu. Tatapan sinis itu lagi. Tatapan meremehkan. Semakin kusadari sulitnya menjadi orang baik di kota sepeeti ini.

Mendadak pikiranku buyar. Penyebabnya, teriakan seorang penjaja majalah. “Ayo, majalahnya mas! Masih baru! Di toko harganya delapan ribu rupiah. Di sini saya obral seribu lima ratus rupiah saja! Ayo majalah Gatranya! Inflasi membawa dampak pada pendapatan perusahaan-perusahaan, lihat di halaman sepuluh,” promosinya sambil membalik-balik halaman majalah di tangannya. Aku agak tertarik melihatnya karena seingatku ini majalah terbitan sebulan yang lalu. Benar saja! Sambil ia melaluiku aku sempat melihat nomor edisinya yang dihitamkan.

Namun si pedagang majalah “baru” ini kelihatannya tidak peduli. Tetap saja didagangkannya majalahnya itu dengan silat lidahnya. Mengingatkanku pada pedagang lainnya yang sering berdagang di bus dengan modal tambahan silat lidah juga. Entah mengapa mendadak aku teringat pada tukang obat, pakar silat lidah lainnya yang waktu kecil sering kutonton sebagai hiburan di kampung.

Halte tujuanku nampak di depan kaca pengemudi. Suara cempreng si kenek meneriakkan nama halte itu. Aku bangkit dan bergegas ke pintu. Bus melambat dan menepi, namun bukan berarti berhenti betul. Ketika sudah dalam kecepatan yang aman, aku melompat turun. “Kaki kiri dahulu baru kemudian kaki kanan,” pesan ayahku yang selalu kutururi.

Baru saja aku “mendarat:, bus sudah segera tancap gas. Membawa penumpang lainnya. Membawa angan-angan si kenek dan si supir. Membawa seorang pengamen. Membawa kekotoran duniawi.

“Depok! Pasar Minggu!” Kudengar kembali suara si kenek dalam langkahku menuju hari esok.