« Home | Bus Kota » | Merebut Dominasi Galaksi » | Dibalik Barisan Musuh » | Lebih Mudah Membuat Makhluk Hidup » | Mengupas Sebuah Legenda » | Dirgantara: Rusia vs AS vs Eropa: Siapa Pemenangnya? » | Danau Toba » | Profesi Masa Depan: Dari Hobi ke Profesi »

Renungan dalam Kematian

“Ahh…!!!” Teriakanku dalam kesadaranku kembali. Namun, dimanakah aku? Dimana ini? Sekelilingku hanya terowongan gelap. Dan kenapa aku merasa ditarik ke depan? Ditarik tanpa bisa melawan! Namun tidak terlihat apa-apa. Gelap, hitam, temaram semuanya. Apa yang menarikku? Dimana ini sebenarnya? Kupandangi tubuhku. Namun, dimana pula tubuhku? Kenapa aku bisa merasakan jiwaku, namun tanpa tubuh? Tuhan, tolong aku. Dimanakah aku sebenarnya? Mengapa tubuhku tidak ada?

Mendadak pikiran itu datang. Aku sudah mati! Kini hanya ada jiwaku saja. Tanpa ada tubuhku! Dan kini aku sedang mengarungi terowongan menuju ke tempat penghakiman terakhir. Tidak! Ini tidak mungkin! Mengapa aku sudah meninggal? Apa yang terjadi?

Seperti merupakan jawaban tehadap pertanyaanku, kenyataan itu muncul. Aku diingatkan pada masa-masa kehidupanku di dunia. Dimulai ketika aku masih kecil. Ahh, betapa indahnya saat itu. Aku tahu keluargaku memang bukan keluarga yang berada. Kami hanyalah keluarga gelandangan. Bapakku hanya seorang pemulung. Sementara kakakku satu-satunya menjadi seorang pedagang asongan. Untuk membayar uang sekolahku. Aku memang tidak bersekolah di tempat yang mewah, namun tetap saja bersekolah. Ibuku tinggal di rumah, atau lebih tepat disebut gubuk kami di bantaran kali Ciliwung merawat adik-adikku. Aku ingat sekali tahun-tahun itu. Dimana tiap pagi aku dengan bangga dan bersemangat meminta restu sekolah kepada kedua orang tuaku.

Ahh…!!! Sampai kapan terowongan ini berakhir? Panjang sekali! Atau, bahkan tidak akan berakhir sama sekali? Apa ini yang disebut neraka? Tanpa api seperti gambaranku selama ini. Hanya terowongan gelap tak berkesudahan?

Aku dapat bersekolah dengan baik sampai SMP. Sesudah itu aku drop-out. Tidak ada biaya, demikian kata bapakku. Aku juga sadar kalau memang biaya untuk adik-adikku tidaklah kecil. Kakakku ketika itu juga terpaksa berhenti sekolah demi aku dan adik-adikku. Jadi kelihatannya ini giliranku. Semenjak itu aku berdagang koran di bilangan Slipi. Namun aku tetap berhubungan dengan kawan-kawan lamaku di SMP sehingga aku paling tidak dapat belajar kecil-kecilan dari mereka. Itu awalnya. Namun kemudian aku semakin sibuk berdagang sehingga mau tidak mau jam belajarku hilang sedikit demi sedikit.

Sudah berapa lama sebenarnya aku mengarungi terowongan ini? Lima menit? Lima belas? Atau bahkan sudah satu jam lebih? Entahlah? Aku sudah lupa berapa lama. Lagipula, apa waktu berguna di tempat yang kutuju?

Sekolah. Kalau diingat-ingat lucu juga. Sewaktu aku masih bersekolah entah berapa juta kali perasaan malas menghinggapiku. Aku tidak mendengarkan guru, tidak mengerjakan PR dan latihan, bahkan tidak jarang aku membolos sekolah. Namun aku ingat sekali ketika aku mulai berdagang, mengamen dan bahkan menjadi joki 3 in 1. Rindu. Rindu sekali aku akan bangku sekolah. Rasanya malu dan iri sekali kalau melihat anak-anak lain mengenakan baju seragam dan menunjukkan wajah cerah ke sekolah. Apalagi kalau melihat kakak-kakak yang sudah berpakaian bebas ke tempat yang namanya universitas. Universitas. Katanya kalau disana cara belajarnya beda. Lebih bebas. Namun entahlah…. Aku belum pernah merasakannya. Dan memang tidak akan pernah merasakannya.

Kegelapan. Sampai kapan kegelapan ini akan menyelimuti aku? Kegelapan yang benar-benar asing bagiku. Tidak seperti kegelapan malam atau kegelapan di dalam gubukku. Kegelapan yang benar-benar kelam. Menyeramkan.

Aku menjajakan koran selama beberapa tahun. Dan selama itu tiap hari aku sempat membaca koran yang kujajakan itu. Hasilnya, lumayan lah. Paling tidak aku tidak ketinggalan informasi dan tren. Ingat tentang tren aku jadi ingat waktu internet masuk disini. Aku memang tidak pernah menyentuh dan merasakan benda yang namanya internet itu. Maksudku internet betulan, bukan indomie telor kornet. Sebenarnya apaan ya internet itu? Apa emang benda atau …..? Koq orang-orang bisa tertarik banget ama benda itu? Malah aku sempat baca katanya ada orang yang kecanduan sama intenet. Hah! Ada-ada saja dunia ini. Mungkin internet itu sejenis ganja untuk orang kaya, yah? Buktinya bisa sampe ketagihan. Padahal waktu itu aku pernah nyoba-nyoba ke warnet, warung internet. Saking pengen tahunya aku tentang internet, aku nekat ngintip bahkan pernah nerobos masuk ke warnet. Tapi aku nggak ndapetin benda apapun yang asing bagiku. Semuanya sudah kuketahui. Cuma ada komputer, komputer dan komputer. Satu hal lain lagi yang juga tak pernah kusentuh. Tak kudapatkan internet, malah kudapatkan hardikan dan dorongan dari pramuniaga warnet itu yang mengusirku. Malu sekali rasanya waktu itu. Apalagi sewaktu handphone juga merasuki jiwa orang-orang borju di ibukota. Kayaknya hampir tiap orang bermobil mewah pasti nyupirnya sambil nenteng handphone. Dan nggak bisa kulupakan gaya anak-anak remaja seumuranku. Hah? Apa memang mereka memerlukan handphone itu atau cuma mau ikut-ikutan tren saja sih sebenarnya? Semuanya memegang atau mengantongi benda kecil hitam gelap.

Gelap! Gelap seperti terowongan ini. Apa bapakku yang meninggal sebelumku juga merasakannya? Bagaimana perasaannya ketika melewati terowongan ini? Atau, terowongan ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu? Tak tahulah.

Bapak. Bila kuingat bapakku, dadaku selalu terasa sesak dan penuh penyesalan. Ahh…. Kalau saja aku bisa membalikkan waktu. Mungkin tanpa ada aku, bapak masih hidup sampai sekarang. Ini semua gara-gara aku nekat mencoba menjadi tukang ojek payung sewaktu musim hujan tahun 1996. Rencananya sih sebenarnya uang hasil mengojek itu ingin kuberikan bapak dan ibu. Buat mbantuin sekolah adik-adikku. Seminggu pertama semuanya lancar. Penghasilanku besar dan aku semakin berbangga diri. Namun memasuki minggu kedua aku ingat sekali betapa panasnya tubuhku. Aku tidak bisa bangun selama hampir empat hari. Terpaksa uang hasil tabungan kedua orang tuaku dipakai untuk menebus puskesmas dan obat-obatanku. Memang kami kurang terdidik, namun kedua orang tuaku sudah tidak percaya lagi ke dukun-dukunan. Aku sempat dihardik kedua orang tuaku gara-gara ulahku mengojekkan payung itu. Namun sesudah kuterangkan maksudku memang keduanya memaklumi dan memaafkanku dengan tambahan aku tidak mengojekkan payung lagi. Aku tahan untuk menuruti nasehat itu selama 3 minggu, namun pada minggu keempat kembali payung menjadi sahabatku dalam hujan lebat di ibukota. Selama satu, dua hari tindakanku memang tidak disadari oleh kedua orang tuaku, namun akhirnya keduanya menjadi curiga karena tiap hari aku pulang dalam keadaan basah kuyup sambil membawa satu-satunya payung milik keluargaku. Hingga akhirnya bapakku menyelidiki tingkah-lakuku di suatu hari yang berhujan. Mungkin memang sudah nalurinya yang membawanya ke Slipi, tempat mangkalku. Masih sangat segar dalam ingatanku teriakannya ketika ia melihat diriku, namun aku malah lari karena takut dimarahi. Kelihatannya bapakku mencoba mengejarku, namun aku tak melihatnya secara jelas. Mendadak terdengar suara rem berdecit dan keributan massa di belakangku. Dan sebuah teriakan, teriakan yang sangat kukenal. Teriakan dari suara yang sangat akrab di telingaku, suara yang menjagaku setiap hari. Suara bapakku. Ketika kubalikkan badanku dan kuterobos kerumunan orang-orang, hanya jasad berlumuran darah bapakku yang kutemukan. Hanya jasad, tanpa nyawa. Tanpa jiwa. Bapakku. Bapakku yang begitu menyayangiku telah pergi karena ulahku.

Bapak. Kini anakmu yang durhaka ini mengikuti jejakmu. Namun apakah memang betul kuikuti jejakmu? Apakah kau juga melewati terowongan ini? Dan bagaimana dengan ibu?

Semenjak kematian bapak, sikap ibu dan saudara-saudaraku terhadapku mulai berubah. Kadang-kadang mereka dapat menjadi sangat dingin terhadapku. Namun sebenarnya yang benar-benar kucemaskan adalah ibuku. Kelihatannya ia sangat terpukul dengan kematian bapak. Kesehatannya kian memburuk. Sakit-sakitan. Uang tabungan kami hampir ludes untuk memeriksakan kesehatannya ke puskesmas setempat. Namun tidak kunjung nampak kemajuan kesehatannya. Sampai akhirnya saat yang kutakutkan itu terjadi. Satu lagi orang yang kusayangi terengut dari hidupku. Kini aku benar-benar yatim piatu.

Bapak. Ibu. Maukah kau memaafkan anakmu ini? Mungkin memang sudah terlambat bagiku. Karena kini aku terperangkap dalam terowongan ini. Kelihatannya terowongan ini tidak berujung, hanya gelap, gelap dan gelap. Ahh…. Betapa rindunya aku akan cahaya. Cahaya kehangatan dari bapak dan ibuku.

Selepas perginya kedua orang tuaku itu, aku dan kakakku semakin giat membanting tulang di jalanan. Aku sadar tanpa usaha keras kami, adik-adikku tidak akan mendapatkan masa depan yang baik. Namun sampai kapan kami akan mampu bertahan demikian? Kelihatannya kakakku juga sudah mulai berkurang kekuatannya. Ia tidak mampu lagi bekerja sampai malam seperti dahulu. Berat. Berat sekali kini beban keluarga yang harus kutanggung. Namun aku tidak akan mengecewakan keluargaku lagi, tidak akan kuulangi kesalahanku yang dulu.

Sampai kapan kegelapan ini akah menyelimutiku? Kembali pertanyaan itu berkecamuk dalam anganku. Sendiri dalam kegelapan. Alangkah tidak enaknya. Kurindukan sekali seorang teman di saat seperti ini.

Aku menjadi ingat pada teman-temanku. Entah berapa kali aku bertemu kembali dengan teman-teman lamaku semasa aku menggelandang. Kebanyakan memang sukses dan meneruskan pendidikannya. Namun bukan berarti tidak ada yang akhirnya seperti aku, menggelandang. Dan yang lebih parah lagi tidak sedikit yang jatuh ke dalam lembah kegelapan.

Kegelapan seperti yang menemani aku sekarang ini. Kegelapan yang tidak berkesudahan. Seorang guruku pernah berkata, “hati-hati pada kegelapan. Sekali kau jatuh ke dalamnya, selamanya kau akan berada di dalamnya.” Huh! Kuharap kata-katanya itu tidak benar. Sebab kini aku sudah benar-benar tidak tenang melihat kegelapan ini. Kegelapan tanpa teman.

Tidak jarang temanku yang jatuh dalam kriminalitas itu menawariku untuk bergabung dengan mereka. Memang nampaknya mereka jauh lebih kaya sekarang. Jauh lebih mengundang, dan juga mengundangku untuk bergabung dengan mereka. Bahkan akhirnya aku pun sempat terjatuh mengikuti mereka. Ketika itu aku mencopet seorang ibu yang kelihatannya terkantuk-kantuk dalam sebuah bus. Ahh… kejahatanku sudah hampir sempurna ketika mendadak si ibu berteriak-teriak sambil menudingku. Dan dalam beberapa detik saja kurasakan puluhan pukulan mendarat di tubuhku, mengantar diriku semakin mendekat ketidaksadaran. Di antara ketidaksadaranku, aku masih sempat mendengar teriakan beberapa orang, termasuk ibu tadi untuk menyetop penganiayaan terhadap diriku. Namun apa daya, massa memang sudah terlalu panas dan beringas. Hingga akhirnya mereka datang. Mereka yang biasanya kutakuti karena sering menggusur pemukiman kumuh dan juga mengusirku ketika menjajakan daganganku. Mereka yang kadang dibenci masyarakat karena tindakannya sering semena-mena. Mereka yang disebut polisi. Walaupun aku juga pernah mendendam kepada mereka, namun di saat seperti ini, mereka sangat kutunggu-tunggu. Seiring kedatangan mereka, bubarlah kemumunan massa meninggalkanku. Meninggalkan si korban keberingasan. Singkat kata, entah bagaimana caranya kakakku dapat membebaskan aku dari tahanan. Mungkin dengan bantuan sifat umum mereka yang hingga kini masih terkenal, yaitu cukup dengan sodoran amplop? Yang jelas, sampai di gubukku, entah berapa ratus kata yang kuterima dari kakakku. Aku merasa malu sekali. Malu pada keluargaku. Malu kepada diriku. Malu kepada Tuhan atas pelanggaranku. Malu kepada segalanya.

Kegelapan masih menjadi temanku. Mungkin akan menjadi temanku selama-lamanya? Atau bahkan kegelapan telah menjadi predator yang baru saja menelan jiwaku ini? Menelanku untuk kemudian dilumat perlahan-lahan hingga akhirnya menjadi satu dengan kegelapan itu sendiri?

Ahh….. Aku benar-benar rindu kepada temanku. Terutama seorang teman karibku. Dia memang lebih berhasil dibandingkan aku. Jurusan elektro di sebuah universitas yang memang diidam-idamkannya sejak dulu berhasil diraihnya. Aku tahu ini ketika aku bertemu dengannya di dekat kampusnya. Dia bercerita tentang kehidupannya kini, dengan penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Sementara aku, apa yang dapat kubanggakan? Gubukku? Prestasiku sebagai tukang koran dan pencopet gagal? Namun kusadari bahwa temanku ini memang benar-benar seorang teman. Bulan-bulan berikutnya entah sudah berapa banyak bantuan darinya kuterima. Otomatis keluargaku pun sangat terbantu olehnya.

Namun dimanakah ia kini? Bukankah seharusnya ia juga ada di dekatku kini? Atau memang ia mendapat tempat lain yang lebih layak bagi orang sepertinya?

Ingatanku kembali terbang ke pertengahan tahun 1998. Bulan Mei tepatnya. Keadaan negaraku semakin panas. Teman karibku ini entah telah berapa kali bercerita padaku tentang aksi mahasiswa teman-temannya menuntut pemerintah yang banyak melakukan praktek KKN. Korupsi Kolusi Nepotisme. Padahal seingatku dulu KKN itu artinya Kuliah Kerja Nyata. Mungkin memang jaman berubah berarti arti suatu singkatan juga berubah, ya? Katanya semua universitas kini aktif memerangi ketidakadilan hasil karya pemerintah. Termasuk universitasnya dan dirinya sendiri. Memperjuangkan hak-hak rakyat, katanya. Rakyat. Berarti aku termasuk, pikirku dalam hati. Apa adil kalau aku tidak ikut memperjuangkan hakku sendiri, pikirku. Pikiranku kembali menerawang.

Menerawang biasanya tidak dilakukan dalam kegelapan. Namun itulah yang kulakukan saat ini. Menerawang. Mencoba melihat sebisaku kalau-kalau ujung terowongan gelap ini sudah di pucuk penglihatan. Namun ternyata belum juga. Dan entah kapan akan kujamah.

Kuingat peringatan kakakku untuk berhati-hati sebelum aku mengikuti langkah temanku menuju kampusnya. Katanya hari ini akan diadakan aksi mahasiswa besar-besaran. Banyak yang ikut, tidak harus mahasiswa asal peduli kepentingan rakyat. Salah satu pesertanya adalah aku. Ya, aku. Seorang gelandangan. Namun aku peduli terhadap nasib keluargaku, nasib masyarakatku juga. Sudah bulat keputusanku untuk membantu mahasiswa dalam gerakan ini. Sesampainya di kampus temanku ini sudah banyak orang berkumpul. Kebanyakan mahasiswa dan masyarakat umum. Namun aku sempat memperhatikan sekumpulan orang-orang berpakaian hijau loreng-loreng berjaga-jaga di lingkaran luar kerumunan massa. Tentara, begitu namanya. Waktu itu orasi sudah dimulai. Seorang mahasiswa meneriakkan yel-yel perjuangan dan pidato yang banyak kata-katanya tidak dapat diraih oleh otakku yang hanya sampai SMP ini. Aku pun kembali jatuh ke lamunan.

Melamun. Mungkin hanya itu yang dapat kulakukan sekarang. Tanpa akan kejelasan terowongan gelap ini. Kelihatannya melamun memang penyelesaian terbaik.

Namun tiba-tiba lamunanku terpecah. Suara letusan, letusan yang sangat nyaring. Dan mendadak semua orang di sekitarku sudah berlarian tak tentu arah. Apa yang terjadi? Temanku segera menarik tanganku yang kuikuti dengan refleks ikut berlari mengikutinya. Kelihatannya ia hendak menuju ke salah satu gedung kampusnya. 100 meter… 50 meter.. 20 meter… Gedung penyelamat itu sudah sangat dekat ketika tiba-tiba sebuah letusan terdengar lagi dan temanku itu jatuh. Jatuh dengan berlumuran darah. Secara refleks kutahan dia, namun kelihatannya dia mengalami luka yang cukup serius. Baru saja aku hendak berteriak meminta bantuan ketika mendadak terdengar suara letusan itu lagi. Kali ini lebih keras dan terasa mengiang di dalam telingaku. Dan mendadak kurasakan nyeri tak tertahankan di dadaku dan kutemukan darah berlumuran di tubuhku. Tubuhku mulai goyah dan lunglai. Kesadaranku sirna dan yang kulihat hanyalah….

Kegelapan. Kegelapan yang hingga masih setia menemaniku walaupun aku telah jenuh olehnya. Ahh…!!!! Apa yang harus kulakukan untuk berpisah darinya? Apa? “Tuhan, tolong bantu aku. Aku memang sudah berdosa besar. Mengecewakan-Mu. Mengecewakan semua orang. Namun ampunilah aku. Bantulah aku,” ratapku dalam kegelapan itu. “Dan bantu pula sudara-saudaraku serta semua orang lainya,” tambahku.

Dan sekonyong-konyong seperti sebagai jawaban atas doa ratapanku itu, terowongan gelap itu berakhir. Berakhir! Dan kutemui sebuah gerbang putih yang megah. Gerbang yang membatasi terowongan itu dengan suatu taman yang indah. Gerbang yang dengan anggunnya terbuka dan mengundangku. Kehangatan. Kehangatan dari gerbang itu menerpaku dan dibaliknya kutemukan pula kedua orang tuaku dan temanku yang dengan segera menghampiriku dan mengundangku ke dalam. Kulangkahkan kakiku--kakiku, kini tubuhku telah kembali!--untuk menuju apa yang kutahu pasti merupakan jawaban dari doaku. Seseorang yang pasti menerimaku dan menerima kalian semua yang bertobat dan mau menerima kuasa-Nya!