Monday, November 27, 2006

Casino Royale (2)

Satu-satunya orang gila di dunia orang gila adalah orang normal
-Kahlil Gibran

Menyambung posting sebelumnya, masih mengenai pengalaman menonton Casino Royale, tapi kali ini dari sisi yang berbeda.

Beberapa tanggapan yang teman-teman saya mengenai film itu: James Bond-nya nggak keren; nggak ada teknologinya sama sekali; film pure action, beda dengan film-film sebelumnya. Dan segudang komentar negatif lainnya.

Tapi ada satu teman yang malah berkomentar bahwa justru karakter James Bond dalam film inilah yang paling sesuai dengan penggambaran James Bond yang ditulis Ian Flemming, pengarangnya: dingin, bukan playboy, dan yang pasti merupakan killing machine.

Saya jadi ingat kalau dulu (dulu sekali, SMP kalau tidak salah), seorang teman lama saya pernah memberikan novel Casino Royale ke saya. Seingat saya memang gambaran James Bond yang ada di buku tersebut mirip sekali dengan yang ada di film ini. Bahkan bisa dibilang memang film ini hampir menyalin plek plot novelnya (selain tentu ada beberapa penambahan, terutama di bagian awal dan akhir film).

Menarik sekali melihat bahwa pada akhirnya gambaran masyarakat akan figur James Bond sudah bergeser sama sekali dibandingkan gambaran asli di novelnya. Dipastikan, akibat figur yang telah ada di film-film sebelumnya.

Satu lagi bukti akan kekuatan media. Dan mudahnya mempermainkan pikiran manusia (dan masyarakat): berikan saja fakta yang salah terus-menerus, lama-kelamaan yang salah itu akan menjadi benar dan dipercaya semua orang. Bentuk dari kebenaran relatif? Seperti kata-kata Obi-Wan dalam Return of the Jedi ketika ia mengonfirmasikan bahwa Darth Vader adalah ayah Luke Skywalker: “So what I told you was true... from a certain point of view”.

From a certain point of view…. Sudah sebegitu rapuhkah kebenaran saat ini?

Merupakan suatu tantangan zaman, ketika posisi kita sebagai orang percaya tentulah tidak boleh terimbas pada arus kebenaran relatif ini. Di tengah semakin kuat dan mudahnya mendapatkan informasi (termasuk informasi yang salah)—serta dipengaruhi oleh informasi, apa yang harus kita jadikan pegangan? Suatu pertanyaan retoris, namun semakin menemukan maknanya saat ini.

Casino Royale (1)

Minggu lalu bareng beberapa rekan Pemuda Kayu Putih saya nonton film James Bond 007 yang terbaru, Casino Royale. Saya datang rada pagi karena mau belanja buku dan kado untuk adik saya yang besoknya ulang tahun.

Singkat kata, saya dan rekan-rekan masuk ke bioskop dan film diputar. Disini saya baru menyadari, betapa luasnya tipikal karakter dari kami semua.

Beberapa teman saya dapat begitu terhanyutnya dalam film, ikut terhenyak ketika ada adegan-adegan yang menegangkan. Ikut trenyuh secara emosional terhadap alter ego di film tersebut.

Sedangkan saya? Sepanjang film bisa disebut tetap tenang (atau malah dingin terhadap karakter film tersebut). Seingat saya, selain seri film Star Wars, baru film V for Vendetta dan Born Free-lah film yang saya tonton dan saya dapat mempunyai ikatan emosional dengan karakternya.

Mungkin memang ini salah satu kelemahan saya. Terlalu menahan diri secara emosional dan tidak “lepas” mengekspresikannya. Kecuali mungkin ketika di pentas teater dan dalam tulisan. Satu lagi hal yang perlu diperbaiki.

Monday, November 20, 2006

Kepemimpinan Slogan

Sebuah kelompok memerlukan visi. Pemimpin kelompok tersebut juga perlu memahami dan menghidupi visi tersebut. Dengan apa? Misi dan perencanaan; pengenalan akan lingkungan yang bermuara pada rencana dan eksekusi.

Seringkali visi dan misi itu kemudian dibuat membumi dengan slogan-slogan yang dilontarkan terus-menerus di kelompok tersebut. Terlebih di masa-masa ini di mana slogan-slogan pembakar semangat semakin sering terdengar.

Akan tetapi esensikah slogan itu? Ketika slogan itu terus-menerus diserukan, diwajibkan di seluruh kelompok, tanpa sang pemimpin sendiri mengenal kondisi kelompoknya dan tidak memiliki rencana dan eksekusi yang baik.

Yang ada adalah anggota kelompok yang merasa ditinggalkan oleh pemimpinnya, menjadi sapi perahan. Mungkin memang ini merupakan bentuk lain dari kata-kata Lord Acton, power tends to corrupt. Ketika penguasa telah sebegitu jauhnya dari rakyatnya, ketika mereka bagaikan telah hidup di Nirwana. Adalah keniscayaan menggunakan slogan-slogan tersebut untuk semakin memeras rakyatnya. Kekuasaan menjadi alat untuk memaksa dengan slogan sebagai alih-alih pemicu kinerja keseluruhan.

Pemimpin adalah seorang yang penuh visi dan aksi, bukan penuh slogan.

Tuesday, November 14, 2006

ThinkPad

Beberapa hari yang lalu ThinkPad saya baru saja crash. Awalnya sih karena kesalahan saya juga, menginstall driver yang belum disertifikasi. Tapi dari pengalaman sebelumnya, biasanya driver yang belum tersertifikasi masih dapat digunakan. Baru sekali ini membuat masalah sepelik ini.

Alhasil beberapa rencana awal seperti penggunaan ThinkPad saya di TGIF terpaksa dibatalkan. Panik juga, karena crash-nya baru disadari beberapa jam sebelum penggunaan di TGIF. Ditambah lagi mendadak ada telepon, Change Request di proyek lagi. Makin mumet.

Beruntung dua hari sebelumnya saya baru melakukan back-up terhadap ThinkPad. Tindakan preventif memang sangat berguna, buktinya ThinkPad saya sudah up-and-running lagi.

Tapi itulah sulitnya, tidak setiap saat kita mempersiapkan tindakan preventif. Yang ada malah tindakan reaktif, menyalahkan lingkungan. Padahal itu kesalahan kita juga kan, hanya memiliki target tanpa memiliki rencana.

T besar, r kecil, p apalagi. Target besar, rencana kecil, pelaksanaan apalagi. Hasilnya ya begitu, panik tidak menentu.