Monday, February 25, 2002

Terorisme, Lee Kuan Yew dan Indonesia

Sejak musibah 11 September yang lalu, semua orang, tak terkecuali bangsa Indonesia, menjadi sangat sensitif terhadap kata “terorisme”. Terlebih ketika negara kita ini dituding sebagai salah satu tempat berlindungnya terorisme yang dapat mengancam negara lain oleh salah satu tokoh politik paling berperan di Asia Tenggara. Dalam kondisi emosional yang masih berupaya memulihkan diri dari bencana banjir nasional, sekilas pernyataan itu seperti hanya menguak luka baru.

Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan Lee Kuan Yew—Perdana Menteri Senior Singapura—tersebut, berbagai reaksi terlihat segera setelah pelontarannya. Namun sebenarnya cukup banyak bahan refleksi yang bisa kita peroleh dari pernyataan Lee. Yang jelas, kalaupun tidak menjadi tempat perlindungan teroris, satu hal yang pasti adalah bahwa Indonesia menghadapi ancaman terorisme. Dapat dengan mudah diingat berbagai aksi pengeboman yang sempat berlangsung, mulai dari pengeboman di depan Kedutaan Besar Filipina, pengeboman Atrium Senen, hingga pengeboman Gereja (yang secara ironis terjadi di malam Natal). Mengingat semuanya itu, bukankah pernyataan Lee menjadi “sentilan” bagi proses penegakan keamanan di Indonesia yang terbilang lamban. Tommy memang telah ditahan dan ditindaklanjuti (semoga memang dengan penegakan hukum yang sesungguhnya), namun proses peradilan Indonesia masih menempuh jaan yang amat panjang. Sentilan ini dapat menjadi cambuk untuk semakin menggiatkan usaha kita.

Kembali berpijak pada peristiwa pengeboman Atrium Senen. Bukan kebetulan kalau waktu itu pelaku pengeboman tertangkap dan ternyata berasal dari kelompok Muslim radikal Malaysia. Kesimpulannya: Indonesia minimal telah menjadi daerah operasi yang cukup disenangi untuk kegiatan terorisme. Kenapa? Mungkin dapat dikatakan bahwa rakyat Indonesia termasuk gampang untuk diobok-obok, meminjam istilah Joshua si penyanyi cilik. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh fakta bahwa selama ini kompetensi penegakan hukum di Indonesia sangat merisaukan. Singkat kata, surga bagi terorisme.

Posisi dan sikap Indonesia sendiri di dalam peta terorisme terbilang agak membingungkan. Hampir semua negara tetangga, Singapura, Malaysia dan Filipina secara terbuka menyatakan perang terhadap terorisme dan menunjukkan sikap keras terhadap mereka yang dicurigai sebagai pelaku terorisme oleh masing-masing negara. Indonesia sementara itu, menyatakan perang terhadap terorisme, namun kemudian seperti terombang-ambing dalam kebingungan sendiri untuk melangkah lebih lanjut. Mungkin memang tidak dapat disalahkan sepenuhnya mengingat permasalah yang sedang dihadapi Indonesia pada saat itu. Tapi yang jelas, dari ketiga negara tetangga tersebut pula semakin tercium kemungkinan keberadaan suatu jaringan terorisme regional (atau internasional) di Singapura, Malaysia, Filipina dan ...Indonesia.

Pandangan tersebut didapat dari tersangka-tersangka yang berhasil diamankan oleh aparat dari ketiga negara tetangga tadi. Diduga seorang tokoh yang saat ini berada di Indonesia adalah otak di balik segala kegiatan terorisme regional—dan orang ini pula yang saat ini sedang diinginkan oleh aparatur Singapura dan Malaysia. Bukan kebetulan jika kemungkinan orang ini pula yang dimaksudkan oleh Lee dalam pernyataannya.

Jika pengamatan difokuskan hanya kepada Indonesia dan Singapura, dapat terlihat beberapa hal yang menarik. Singapura jelas adalah negara yang pro-Barat. Bukam kebetulan pula jika di negara tersebut mayoritas penduduknya adalah non-Melayu dan non-Muslim. Dengan kondisi seperti itu, Singapura juga menjadi negara yang dikelilingi oleh negara-negara lain dengan mayoritas penduduk Muslim Melayu. Akibatnya tidak sedikit orang yang mengasosiasikan penyataan Lee sebagai “serangan” terhadap kenyataan ini sembari mencari poin dari Presiden Bush. Tudingan ini semakin diperkuat ketika kita ingat akan penahanan terhadap 13 orang warga Muslim Melayu Singapura yang diduga terlibat terorisme. Bagaimanapun kejadian ini dapat memicu sentimen publik bahwa pemerintahan Singapura bertindak keras terhadap Muslim Melayu.

Mungkin kondisi etnis-agama tersebut yang memicu reaksi keras dari banyak warga Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah, lagi-lagi, oleh emosi publik yang masih terpengaruh musibah banjir dan juga kerusakan lingkungan akibat ekspor pasir laut—baik legal maupun ilegal—ke Singapura, walaupun memang tetap harus diakui faktor etnis-agama kelihatannya lebih banyak berperan.

Beberapa respons masyarakat menuding pernyataan Lee cenderung yang menyerang begitu saja. Tapi sekali lagi, pernyataan Lee seharusnya menjadi bahan refleksi kita. Jika dianggap Lee (atau pemerintahan Singapura) berlaku tidak adil terhadap Indonesia atau etnis-agama, masa lalu Lee perlu ditinjau juga. Sejak dulu Lee dapat dikatakan sebagai pemerintah yang keras dan tegas terhadap pelanggaran hukum di negaranya tanpa pandang bulu. Jika hendak dikatakan Lee berorientasi pada etnis non-Melayu, hal ini dapat terbantahkan dengan fakta demonstrasi dan mogok kerja yang harus dihadapinya pada masa-masa awal pemerintahannya. Lee pernah menghadapi ancaman demonstrasi dan mogok kerja yang digerakkan baik oleh etnis Melayu maupun non-Melayu. Terhadap kedua belah pihak tersebut, sikap Lee tetap keras sesuai dengan pelanggaran mereka. Selain itu, sikap Singapura dalam kasus Michael Fay, warga negara Amerika Serikat yang tertangkap melakukan vandalisme, memperlihatkan komitmen mereka bahwa mereka bukan pihak yang hanya menjadi “yes-man” begitu saja terhadap Amerika. Dapat dikatakan bahwa Singapura bukanlah pro-Barat yang fanatik buta begitu saja, namun tetap menggunakan pertimbangan rasio.

Pada akhirnya, ada saja kemungkinan reaksi keras (dari elite politik Indonesia) terhadap pernyataan Lee sebenarnya hanya bertujuan untuk memainkan emosi publik dan mencari simpati, mengingat sebenarnya bukan hanya sekali ini Indonesia menerima kritik semacam ini. Dan juga tidak dapat dilupakan bahwa Indonesia juga pernah mengeluarkan pernyataan-pernyataan mengenai negara lain. Pada saat ini, diperlukan kerendahan dan keterbukaan hati untuk dapat menerima pernyataan Lee sebagai suatu kritik dan masukan yang akhirnya dapat mempererat dan membangun sesama negara Asia Tenggara. Paling tidak agenda anti-terorisme pasti merupakan agenda bersama. Dan terorisme adalah masalah yang pemecahannya tidak mungkin dilakukan sendiri, melainkan harus melalui kerjasama antarnegara. Alangkah baiknya bila Indonesia dan Singapura bergandeng tangan menghadapi terorisme.

Pers Menghadapi Tantangan Lingkungan

“Pers yang tidak bebas pasti buruk. Adapun pers bebas bisa baik, bisa buruk”

Albert Camus

Sebuah pernyataan dari filsuf Perancis di atas dapat menjadi cerminan bagi masyarakat pers Indonesia. Setelah mengalami masa-masa penuh kekangan dari pihak otoriter, pers Indonesia (akhirnya) berkesempatan untuk mengembangkan sayap kebebasannya—walaupun secara ironis kembali terkekang oleh kondisi keuangan pada waktu itu.

Kondisi ini patut kita syukuri, walaupun pada sisi-sisi tertentu, kebebasan ini sempat pula keblablasan ke arah pers ugal-ugalan yang meninggalkan tatanan kode etik jurnalistik. Suatu eforia kebebasan pers, demikian banyak pengamat berkomentar.

Namun disadari atau tidak, kebebasan pers yang telah disertai kompetensi profesional pun sebenarnya acapkali masih menjadi kebebasan yang terbelenggu—secara ironis oleh lingkungan terdekat insan pers bersangkutan. Ambil pasal pelaku pengekangan tersebut adalah keluarganya, temannya atau siapapun. Bagaimana mungkin?

Setiap insan pers—yang telah mengaplikasikan visi media—dapat saja menghadapi tantangan ini. Tugas pers sendiri dapat digambarkan sebagai pengamat dengan komitmen yang kemudian senantiasa secara kontekstual menginformasikan berita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa informasi dan komunikasi adalah tugas dan makanan sehari-hari bagi insan pers. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah proses pelaporan fakta (atau berita) yang berkaitan, karena secara kasar dapat disebutkan bahwa apa yang dinamakan fakta pada akhirnya tidak lain dan tidak bukan merupakan apa yang menurut sang insan pers adalah fakta. Tentunya hal ini akan menjadi sangat subyektif, bergantung pada sang insan pers sendiri. Dalam hal ini, kepribadian insan tersebut akan memberikan warna tertentu pada berita itu; minat, intelektualitas, nilai budaya dan nilai keagamaan yang dipegangnya sebagai contoh. Dan dalam hal ini pula lingkungan di sekelilingnya akan mempengaruhinya.

Insan pers sebagai manusia juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan—dan terpengaruh—dalam interaksi sosialnya. Pengaruh ini dapat berkisar dari pengaruh yang “ringan” hingga nilai-nilai ekstrem. Contoh pada tingkat wartawan, apabila seorang temannya “merayu” agar sang wartawan tidak mengupas suatu tindakan korupsi yang membawa serta temannya tadi. Pada tingkat redaksional yang terjadi mungkin malah sebaliknya, ia dipengaruhi agar meloloskan sebuah tulisan yang sebenarnya tidak laik cetak.

Anggaplah pihak luar tersebut menggunakan ancaman (seperti sekarang masih seringkali terjadi). Pada saat ini, terjadi kondisi dimana insan pers harus dapat memilih antara idealismenya—dan kompetensi profesional pers—atau kepentingan (atau keamanan?) pribadi, entah itu merupakan kepentingan pribadi yang tulus maupun kepentingan pribadi yang dipaksakan (lagi-lagi karena ancaman?).

Harus diakui bahwa dalam kasus seperti ini, tantangan yang dihadapi insan pers cukup pelik. Ia juga merupakan bagian dari struktur sosial dan dapat menerima dampak yang tidak mengenakkan sebagai akibat pemberitaan yang dipegangnya tersebut. Lebih dipelikkan lagi karena jaminan kebebasan pers terhadap hal ini, belum—kalau tidak mau dikatakan tidak akan—ada. Perlindungan yang telah ada lebih ke arah serangan terhadap kebebasan pers dari pemerintah atau pihak dengan kekuatan otoriter atau dari kekerasan fisik. Tapi terhadap penolakan dari lingkungan? Kasus akan dipersulit dalam kondisi pelaku pengekangan tersebut sebenarnya telah intim dengan insan pers. Dengan kondisi seperti ini, kalaupun kasus dapat dibawa ke pihak yang berwajib, keputusan dilemparkan kembali pada insan pers yang pasti akan dipengaruhi oleh keengganannya sebagai akibat kedekatannya dengan “lawannya”.

Pers juga dihadapkan pada panggilannya untuk memajukan masyarakat—secara khusus pada model komunikasi. Selama ini, situasi Indonesia keruh karena kebiasaan komunikasi dalam masyarakat yang cenderung “bertopeng”, terlalu banyak berbasa-basi dan “penghalusan kalimat” sehingga masyarakat menjadi terbiasa untuk hidup dalam rekayasa—paling tidak hingga masa pra-reformasi/pra-kebebasan pers. Dalam masa kebebasan pers, kebiasaan berkomunikasi—secara khusus kebiasaan tulis-menulis—yang lama ditinggalkan dan digantikan dengan gaya yang lebih lugas dan tegas. Akibatnya khalayak yang (sebagian) tidak terbiasa mungkin akan menciptakan sikap defensif dan terkadang ofensif terhadapnya. Salah satu bentuk dari tantangan lingkungan.

Pada akhirnya mungkin memang tantangan dari lingkungan terdekat ini akan menjadi tantangan abadi yang senantiasa harus dihadapi oleh insan pers. Pertanyaan selanjutnya memang dikembalikan kepada insan pers tersebut kembali, apakah ia tetap maju berpegang pada kompetensi profesionalnya atau akan mundur dan mengalah kepada lingkungannya. Bukan suatu pertanyaan yang gampang dijawab memang. Tetapi mungkin penjabaran tugas pers tadi dan fungsi pers untuk membantu khalayak untuk dapat menempatkan diri serta memanfaatkan lingkungannya secara aktif dan kreatif dapat menjadi salah satu batu pegangan dalam menentukan keputusan. Memang menjadi insan pers berarti siap menghadapi banyak tantangan. Tantangan dari lingkungan tidak terkecuali.