Pers Menghadapi Tantangan Lingkungan
“Pers yang tidak bebas pasti buruk. Adapun pers bebas bisa baik, bisa buruk”
Albert Camus
Sebuah pernyataan dari filsuf Perancis di atas dapat menjadi cerminan bagi masyarakat pers Indonesia. Setelah mengalami masa-masa penuh kekangan dari pihak otoriter, pers Indonesia (akhirnya) berkesempatan untuk mengembangkan sayap kebebasannya—walaupun secara ironis kembali terkekang oleh kondisi keuangan pada waktu itu.
Kondisi ini patut kita syukuri, walaupun pada sisi-sisi tertentu, kebebasan ini sempat pula keblablasan ke arah pers ugal-ugalan yang meninggalkan tatanan kode etik jurnalistik. Suatu eforia kebebasan pers, demikian banyak pengamat berkomentar.
Namun disadari atau tidak, kebebasan pers yang telah disertai kompetensi profesional pun sebenarnya acapkali masih menjadi kebebasan yang terbelenggu—secara ironis oleh lingkungan terdekat insan pers bersangkutan. Ambil pasal pelaku pengekangan tersebut adalah keluarganya, temannya atau siapapun. Bagaimana mungkin?
Setiap insan pers—yang telah mengaplikasikan visi media—dapat saja menghadapi tantangan ini. Tugas pers sendiri dapat digambarkan sebagai pengamat dengan komitmen yang kemudian senantiasa secara kontekstual menginformasikan berita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa informasi dan komunikasi adalah tugas dan makanan sehari-hari bagi insan pers. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah proses pelaporan fakta (atau berita) yang berkaitan, karena secara kasar dapat disebutkan bahwa apa yang dinamakan fakta pada akhirnya tidak lain dan tidak bukan merupakan apa yang menurut sang insan pers adalah fakta. Tentunya hal ini akan menjadi sangat subyektif, bergantung pada sang insan pers sendiri. Dalam hal ini, kepribadian insan tersebut akan memberikan warna tertentu pada berita itu; minat, intelektualitas, nilai budaya dan nilai keagamaan yang dipegangnya sebagai contoh. Dan dalam hal ini pula lingkungan di sekelilingnya akan mempengaruhinya.
Insan pers sebagai manusia juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan—dan terpengaruh—dalam interaksi sosialnya. Pengaruh ini dapat berkisar dari pengaruh yang “ringan” hingga nilai-nilai ekstrem. Contoh pada tingkat wartawan, apabila seorang temannya “merayu” agar sang wartawan tidak mengupas suatu tindakan korupsi yang membawa serta temannya tadi. Pada tingkat redaksional yang terjadi mungkin malah sebaliknya, ia dipengaruhi agar meloloskan sebuah tulisan yang sebenarnya tidak laik cetak.
Anggaplah pihak luar tersebut menggunakan ancaman (seperti sekarang masih seringkali terjadi). Pada saat ini, terjadi kondisi dimana insan pers harus dapat memilih antara idealismenya—dan kompetensi profesional pers—atau kepentingan (atau keamanan?) pribadi, entah itu merupakan kepentingan pribadi yang tulus maupun kepentingan pribadi yang dipaksakan (lagi-lagi karena ancaman?).
Harus diakui bahwa dalam kasus seperti ini, tantangan yang dihadapi insan pers cukup pelik. Ia juga merupakan bagian dari struktur sosial dan dapat menerima dampak yang tidak mengenakkan sebagai akibat pemberitaan yang dipegangnya tersebut. Lebih dipelikkan lagi karena jaminan kebebasan pers terhadap hal ini, belum—kalau tidak mau dikatakan tidak akan—ada. Perlindungan yang telah ada lebih ke arah serangan terhadap kebebasan pers dari pemerintah atau pihak dengan kekuatan otoriter atau dari kekerasan fisik. Tapi terhadap penolakan dari lingkungan? Kasus akan dipersulit dalam kondisi pelaku pengekangan tersebut sebenarnya telah intim dengan insan pers. Dengan kondisi seperti ini, kalaupun kasus dapat dibawa ke pihak yang berwajib, keputusan dilemparkan kembali pada insan pers yang pasti akan dipengaruhi oleh keengganannya sebagai akibat kedekatannya dengan “lawannya”.
Pers juga dihadapkan pada panggilannya untuk memajukan masyarakat—secara khusus pada model komunikasi. Selama ini, situasi Indonesia keruh karena kebiasaan komunikasi dalam masyarakat yang cenderung “bertopeng”, terlalu banyak berbasa-basi dan “penghalusan kalimat” sehingga masyarakat menjadi terbiasa untuk hidup dalam rekayasa—paling tidak hingga masa pra-reformasi/pra-kebebasan pers. Dalam masa kebebasan pers, kebiasaan berkomunikasi—secara khusus kebiasaan tulis-menulis—yang lama ditinggalkan dan digantikan dengan gaya yang lebih lugas dan tegas. Akibatnya khalayak yang (sebagian) tidak terbiasa mungkin akan menciptakan sikap defensif dan terkadang ofensif terhadapnya. Salah satu bentuk dari tantangan lingkungan.
Pada akhirnya mungkin memang tantangan dari lingkungan terdekat ini akan menjadi tantangan abadi yang senantiasa harus dihadapi oleh insan pers. Pertanyaan selanjutnya memang dikembalikan kepada insan pers tersebut kembali, apakah ia tetap maju berpegang pada kompetensi profesionalnya atau akan mundur dan mengalah kepada lingkungannya. Bukan suatu pertanyaan yang gampang dijawab memang. Tetapi mungkin penjabaran tugas pers tadi dan fungsi pers untuk membantu khalayak untuk dapat menempatkan diri serta memanfaatkan lingkungannya secara aktif dan kreatif dapat menjadi salah satu batu pegangan dalam menentukan keputusan. Memang menjadi insan pers berarti siap menghadapi banyak tantangan. Tantangan dari lingkungan tidak terkecuali.