Wednesday, December 20, 2006

Blogging to Bless?

Is it a coincidence? A day after I posted my blog, a friend of mine happens to face a situation I describes in my blog. He emailed me his agreement and how he found my posting to strengthen him in his situation.

I suppose it is not a coincidence. I believe that thru blog, we can share our ideas, experience, how we deal with life, and so on. I think, it is a way to channel our contribution to our community—or even to the world, for a blog reaches the entire population.

It is a very joyful experience to have your ideas being read by others. It is a joyful experience to have peoples find it useful and that they can even develop it furthermore. At least, it shows me that I do exist and I am not merely a sitting duck in my life.

Monday, December 18, 2006

Topeng

Pernahkan Anda merasakan kelelahan dalam bersahabat atau berteman? Atau rasa muak terhadap orang-orang yang selama ini disebut sahabat?

Seringkali orang-orang yang menamakan dirinya sahabat meminta kita untuk menjadi seseorang yang bukan diri kita—dan kita memenuhinya semata-mata demi “persahabatan” itu. Masih layakkah disebut persahabatan ketika kita tidak menjadi diri kita sendiri? Terpaksa menggunakan topeng ketika berdekatan dengan mereka. Topeng cendekiawan, topeng intelektual, atau malah topeng monyet (!). Energi kita terkuras semata-mata demi mengenakan topeng tersebut.

Merupakan suatu kelegaan tersendiri ketika kita dapat menemukan dan menjadi orang yang mengerti dan menerima saat seseorang mengucapkan: topeng saya adalah wajah saya sendiri. Seseorang yang langka di zaman ini.

Ketika Vendetta Berganti Visi Vitalisasi

Membaca V for Vendetta, jelas sekali ada dua tokoh V dalam komik tersebut. Yang satu adalah the old V, pribadi yang sungguh cemerlang, brilian, namun dipenuhi dendam. Yang lain adalah the new V, Evey yang dulunya adalah asuhan V yang akhirnya mengambil alih posisi V yang gugur dalam puncak perjuangannya menghadapi pemerintahan totaliter. Adakah yang tahu bahwa wajah dibalik topeng V yang dulu berbeda dengan V yang baru? Dengan topeng Guy Fawkes yang tidak pernah lepas dari wajahnya, sepertinya tidak akan ada orang yang tahu.

Akan tetapi, dibalik persamaan fisik tersebut, ada visi yang sangat berbeda dari kedua versi V itu. V yang lama adalah V yang menggunakan kekerasan sebagai caranya menegakkan visinya untuk menggulingkan pemerintahan totaliter. Apakah dia memiliki keraguan dalam melakukannya? Sepertinya tidak, tercermin dari tidak ragunya V untuk melakukan aksi “terorisme” sehari-harinya. Bahkan diperkuat dengan kalimatnya yang sungguh kuat: the only verdict is a vengeance. Mungkin pula V percaya bahwa ia dengan segala idenya pada akhirnya dapat mengatasi segala hambatan dari Norsefire: Vi Veri Veniversum Vivus Vici (With the power of truth I, while a living man, have conquered the universe).

Mendapat tentangankah V sewaktu menjalankan segala misinya? Yang menarik, ternyata selain dari Norsefire (tentu saja!), V juga mendapat pertanyaan-pertanyaan moral dari Evey yang notabene adalah anak didiknya sendiri. Sepertinya walaupun Evey setuju dengan visi jangka panjang V mengenai pemerintahan yang tidak totaliter, Evey tetap tidak serta merta menerima segala ide V dengan membabi buta. Masih ada akal jernih dalam diri Evey ketika memutuskan untuk menerima ajaran V.

Ketika pada akhirnya V tewas dan Evey mengambil alih jubah dan topengnya, telah lahir seorang V baru. Di akhir komik, menarik juga melihat bahwa V “menculik” dan memperkenalkan dirinya pada Dominic yang dulunya adalah Fingermen, organisasi yang justru mengejar-ngejar V. Banyak pembaca menafsirkan bagian ini sebagai bagian dimana Evey sudah dapat mema’afkan apa yang dilakukan pemerintahan terhadap dirinya, keluarganya, V lama, dan masyarakat—serta menularkan visinya mengenai pemerintahan yang tidak totaliter, menyadarkan kondisi yang salah dan seharusnya diperbaiki, mengenai musuh yang ada di dalam diri Fingermen sendiri (yang notabene adalah pemerintahantotaliter tersebut).

Apakah ini pertanda berakhirnya era V yang penuh Vendetta dan digantikan oleh V yang memilih jalan damai dalam mewujudkan visinya? Apakah ini merupakan bentuk V yang mau merangkul musuhnya untuk bersama-sama membangun sesuatu yang lebih baik? Bukan lagi V yang menjauhkan diri dari lawannya dan menjadi menara gading dengan tindakan dan sikapnya? V yang pada akhirnya melakukan vitalisasi elegan terhadap orang-orang di sekelilingnya?

Bukan hal yang mudah untuk menghilangkan keinginan untuk melakukan Vendetta. Apalagi menggantikannya dengan visi Vitalisasi. Akan tetapi, ini merupakan suatu panggilan bagi kita yang saat ini ada dalam lingkaran persekutuan. Seperti V for Vendetta, ketika V lama dalam jiwa kita sudah mati, saatnya V baru yang dapat mema’afkan dan mengampuni muncul serta mulai merangkul orang-orang yang selama ini tidak terperhatikan, orang-orang yang selama ini belum mengetahui kabar yang seharusnya mereka ketahui. Melakukan vitalisasi (iman) terhadap orang-orang lain. Kecuali kalau kita memang lebih memilih menjadi V lama yang senantiasa mengatakan: the only verdict is a vengeance.

Ma’af atau Ma’af

Kapankan seorang dikatakan berhati besar? Apakah ketika ia dapat berkata: ma’af? Sekali-kali tidak!

Ma’af adalah kata yang sulit untuk diucapkan. Kenapa? Kesombongan pribadi yang tidak mau merasa direndahkan dengan merasa sebagai pihak yang salah? Egosentris sekali (!).

Akan tetapi lebih sulit lagi untuk menjalankan ma’af itu. Ma’af bukanlah kata yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya perubahan dari si pengucap. Apa yang sudah terjadi biarlah terjadi, sudah tidak mungkin untuk mengubahnya lagi. Namun demikian, apakah berarti kemudian tidak ada usaha untuk mengobati kerusakan yang disebabkan olehnya? Untuk tidak mengulanginya lagi? Atau memang itu hanyalah kata-kata ma’af yang muncul begitu saja?

Ketika seorang teman berkata, “ma’afkan saya”, apakah yang harus saya perbuat? Ingat bahwa untuk menyodorkan permintaan ma’af itu bukanlah sesuatu yang ringan bagi siapapun jua. Dan adalah kewajiban saya untuk menghargai kebesaran teman saya itu. Sesuatu yang konyol kalau saya merendahkan upayanya dan tidak membantunya.

Seorang yang maju dengan permintaan ma’af, setangguh apapun dia, pasti mengalami kecamuk dalam hatinya. Apakah layak saya semakin menjatuhkannya dengan tidak menerima dan tidak membantu proses tersebut?

Jikalau memang demikian yang terjadi, seharusnya bukan dia yang meminta ma’af—sayalah yang berkewajiban meminta ma’af kepadanya.

Sunday, December 17, 2006

To Change or Not To Change: Doing My Best in an Everlasting Changing Life

The rumors are becoming more and more open. There will be a reshuffle in IT Division structure. Some will leave the division and works in another division; some will have a job rotation; some will even have a job enlargement. How’s the reshuffle to me? Simple, I am one of the affected ones.
Well, this reshuffling is not something that I can stop—resistance is futile, said the Borg in Star Trek. I can see this as just another “bump of change” in my life. And I have to face it, not mourn on it, but give what I can do best.
In life, there are numerous changes. Some are avoidable, some are not. Some are for good, some are not. And of course, some forces us to leave our comfort zone. It might not be a pleasant experience, but it might alter our life positively. The same also applies to changes back when we graduates, we are no longer a college student—we left our comfort zone where we live our life “only as a student” to become a fully matured and self-dependent person. It is our choice to take the honor to live the life as a honorable men by advancing trough the challenges it offers.
The choice is ours. We can be shaken by the change, but chose to adapt and performs again in the new environment. Or we can simply turn our vision back toward the old days in our comfort zone—while not realizing that we are doing nothing at all (!).
It is a sign of maturity to be able to face life and what it has to offer. It is a sign of maturity to be able to stand up again after a shock in life. And not to wanders in the old days.
The choice is up to each of us. Whether we can accept the change and DO what we ought to DO, or simply do not accept the change and DO NOT live in reality anymore.

Saturday, December 16, 2006

Mirror Blog

I am creating a mirror blog at http://sagara-sagara.blogs.friendster.com/.
It will contain all the same postings I made in
http://sagara-sagara.blogspot.com, and primarily acts as a backup mirror for my Blogspot one.
Currently, I am still replicating my postings to the Friendster Blog. Hopefully, it will be done in a few days.

Tuesday, December 05, 2006

Mereka yang di Tanah Abang

Minggu lalu, pas pulang kantor kehujanan :(. Selain badan basah kuyup, B 6390 UET yang sudah kotor pun makin belepotan. Kata orang, musim hujan kali ini merupakan siklus 5-tahunan banjir. Berarti harus mulai waspada banjir (!).

Omong-omong soal banjir di Jakarta, saya masih ingat sekali ke Banjir Besar 2002. Banjir kelas berat. Jakarta lumpuh. Dan kebetulan waktu itu saya sempat ikut di Tim Relawan kampus yang bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI). Jadilah beberapa hari itu saya beraksi di beberapa lokasi banjir.

Tapi satu lokasi yang benar-benar berkenang bagi saya adalah Tanah Abang. Tepatnya kantor PLN Tanah Abang. Kantor itu menjadi lokasi penampungan sementara dari rekan-rekan yang menjadi korban banjir waktu itu. Siapa saja yang ada disana? Dari cakupan umur bayi sampai mereka yang sudah berumur. Strata ekonomi? Menengah ke bawah (tentu saja, mereka yang berduit pasti tidak memilih lokasi itu untuk mengungsi). Pekerjaan? Pedagang, supir, bahkan sampai preman (saya malah sempat “terpaksa” berdebat dengan salah satu preman di sana dalam masalah distribusi bantuan).

Malam itu saya ingat sekali, ketika saya dan rekan-rekan di tim relawan harus membagikan stok makanan kecil serta sandang (sarung dan selimut) yang tersedia. Berhubung stok yang sangat sedikit dan jumlah pengungsi yang membludak, kami terpaksa menjatah barang-barang tersebut. Rasanya cukup berat ketika harus membagikan barang-barang tersebut dengan pembatasan yang sedemikian ketatnya (kami berjalan berkeliling lokasi pengungsian sambil membagikan barang-barang itu). Terlebih melihat adanya anak-anak kecil dan orang tua yang pasti kedinginan, tapi mengingat banyaknya pengungsi lain yang belum mendapat jatah mereka, kami melakukannya juga (jadi teringat ke pengalaman jurnalistik, dimana kadang kami sebagai jurnalis mengalami perdebatan nurani pribadi juga ketika meliput kejadian-kejadian penuh pergulatan).

Dengan kondisi tersebut, kami tetap dapat melihat ucapan syukur yang melimpah dalam mata rekan-rekan pengungsi (sementara saya, kadang masih kurang bersyukur dengan segala yang ada saat ini)—dan mereka dapat menerimanya dengan tertib. Dan segala ketakutan akan adanya ketidakteraturan dalam pembagian—atau malah aksi anarkis—segera sirna.

Rasa syukur dan berkecukupan memang tidak datang dari apa yang kita miliki, tapi semata-mata berangkat dari pribadi yang terdalam.

Akan tetapi, pengalaman membagikan itu bukanlah puncak yang saya terima di malam itu. Ketika saya dan rekan-rekan Tim Relawan sedang beristirahat (sambil bersiap untuk kembali ke Posko Kampus), ada beberapa rekan pengungsi yang menghampiri kami. Dengan kondisi mereka yang masih serba berkekurangan, mereka malah bertanya: “Adik-adik sudah makan belum, ini kami ada makanan” seraya menyerahkan sekantong nasi bungkus (saya masih ingat sekali isinya: nasi putih, telur dadar, dan tumis toge; sederhana secara fisik, besar secara makna). Saya dan rekan-rekan kehilangan kata-kata waktu itu. Di tengah kondisi mereka yang berkekurangan, ternyata mereka masih tetap memikirkan orang lain.

Malam itu, sambil berjalan di tengah-tengah banjir dengan hujan yang terus memukul-mukul kepala, saya menyadari: bersyukur tidaklah datang dari luar, tapi dari pribadi sendiri; memberi bukan dari kelebihan, tapi dari ketulusan hati.