Friday, November 13, 2009

Wisata Kota Tua Episode 1

Kami tiba sekitar jam 9.30 di Alun-alun. Kegiatan dibuka dengan sarapan bersama, ada yg menikmati Ketoprak Tempoe Doeloe, Siomay Jadoel, dan berbagai hidangan bercitarasa nan mengguirkan lainnya...
Setelah kami mengisi amunisi perut kami, kaki pun melangkah ke pintu gerbang Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah). Apa mau dikata, ternyata museum sedang penuh sesak oleh kunjungan rombongan adik-adik muda siswa sebuah SMU. Karenanya kami mengurungkan niat untuk memulai wisata budaya di Museum Fatahillah dan beranjak ke Museum Wayang. Sungguh menakjubkan! Bangunan yang dulunya gereja tua ini penuh dengan desain kolonial yang mempesona mata. Koleksi wayang di dalamnya pun sungguh memikat hati. Nasib baik sepertinya sedang berpihak pada kami-kami ini. Tour guide yang sedianya disewa oleh rombongan lain, ternyata malah akhirnya "membelot" ke rombongan kami. Jadilah kami menikmati santapan komplit: mata disuguhi arsitektur yang menawan ditambah suguhan koleksi berbagai jenis wayang yang ada, dengan iringan suara sang tour guide yang menjelaskan koleksi demi koleksi yang ada. Wah, sambil menikmati sajian visual, telinga dan otak juga disuguhi informasi yang tak kalah menariknya. Ternyata ada berbagai jenis wayang selain wayang kulit dan wayang topeng loh! Bahkan ada wayang yang digunakan dalam kegiatan penginjilan di pelosok tanah air (bayangkan, wayang kulit dengan karakter Adam, Hawa, dan Iblis; dilengkapi pula dengan Gunungan bercorak Salib).
Sayang sekali sebagian bangunan Museum Wayang sedang direnovasi sehingga kami tidak dapat melihat seluruh koleksi yang ada (termasuk koleksi Wayang Intan, primadona museum ini). Akan tetapi kekecewaan ini terobati sebagian karena ternyata tour guide tadi mengizinkan kami masuk ke area yang sedang direnovasi itu, dan mengunjungi areal Makam Jan Pieterzoon Coen (Gubernur VOC dulu). Kesempatan ini tidak disia-siakan kami untuk mengabadikan kunjungan dalam berbagai foto yang menawan.
Puas dari Museum Wayang, kaki pun melangkah kembali ke Museum Sejarah Jakarta. Kesempatan ini kami sukses masuk ke dalam museum dan melihat berbagai koleksi yang ada: peninggalan arca dan prasasti purbakala, senjata-senjata zaman kolonial, perabotan dan keramik Hinda Belanda dulu, hingga ke foto-foto dan informasi tentang Djakarta (atau lebih baik disebut Batavia?) Tempoe Doeloe.
Mata kami semua mendadak tertuju ke satu ruangan tanpa pintu di ruangan bawah tanah. Ruang apa itu? Ternyata penjara bawah tanah! Ya, maklum saja, dulunya bangunan ini memang pernah digunakan sebagai balai kota setelah sebelumnya digunakan juga sebagai pengadilan. Jadi para terdakwa akan ditahan berdesakan di ruangan sempit nan sumpek dan pengap (bayangkan, kami tak dapat berdiri tegak dan harus setengah membungkuk dalam ruangan tersebut, yang mana ruangan itu biasanya diisi oleh puluhan narapidana). Informasi yang kami dapat, alun-alun di depan museum ini juga digunakan sebagai tempat eksekusi para terpidana mati, entah itu dipancung atau digantung.
Puas berpetualang di dalam bangunan museum, kami pun bergerak ke halaman belakang museum tersebut. Ada apa disana? Wah, area yang tak kalah menarik! Beberapa penjara bawah tanah berhasil kami telusuri di halaman ini. Tak lupa kami berfoto di depan patung Hermes yang dulu diletakkan di Jembatan Harmoni. Ada satu objek yang tak boleh dilewati di area ini: Meriam Si Jagur! Ya, meriam yang kabarnya merupakan leburan dari 16 meriam kecil lainnya ini kini mendekam di halaman dalam museum setelah sebelumnya diletakkan di alun-alun Kota Tua. Meriam berukuran besar dengan bagian belakang yang melambangkan kesuburan ini dipercaya dapat membawa banyak keberuntungan bagi orang-orang yang memegang bagian jempolnya. Percaya akan tahayul itu mungkin tidak, tapi melepaskan kesempatan untuk berfoto dengan meriam tersebut? Jangan harap! Pasukan narsis ini pun menghabiskan sekitar 15 menit hanya untuk berfoto dengan peninggalan ini.
Siapa bilang semua museum Indonesia itu kuno dan hanya berisi barang membosankan? Kami membuktikan kalau itu hanya usapan jempol! Betapa tidak, Museum Bank Indonesia menjadi objek kunjungan berikutnya. Museum yang letaknya di seberang Halte Busway Kota ini, memberikan kejutan pula bagi kami: tiket masuk gratis! Padahal bangunan dan fasilitasnya sungguh memanjakan diri. Bangunan nan indah, dilengkapi dengan fasilitas AC dan segudang media interaktif multimedia ini membawa kami masuk ke alam tersendiri. Di depan loket tiket, kami sudah disuguhi dengan ruangan-ruangan teller djaman doeloe. Ternyata isu privasi sungguh dijaga dalam kegiatan perbankan dulu. Kaki kami pun melangkah ke Ruang Peralihan. Ruang apa pula ini? Ternyata ruangan ini merupakan wahana interaktif nan mengasyikkan. Gambar koin-koin jatuh ditembakkan ke dinding layar, dan koin-koin tersebut dapat "ditangkap" oleh tangan-tangan nan hiperaktif milik kami. Apa yang terjadi ketika kami berhasil menangkap koin tersebut? Oh, informasi detail mengenai koin itu akan dimunculkan. Menarik dan mengasyikkan, membuat kami enggan untuk segera meninggalkan ruangan ini.
Museum ini menampilkan sejarah lembaga keuangan sentral di Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia berdiri. Tertera bagaimana sistem perekonomian Nusantara dulunya, komoditi yang sering digunakan untuk pertukaran barang, hingga ke sepak-terjang Bank Indonesia dalam membantu menjaga perekonomian Indonesia. Kami juga melihat evolusi logo Bank Indonesia yang dulunya bernama De Javasche Bank. Ada pula diorama-diorama perbankan, termasuk perbankan dalam masa peperangan. Yang sangat berkesan, kami sempat mengoperasikan pintu brankas bank sentral yang tebalnya sekitar setengah meter! Berat dan kokohnya luar biasa! Kami juga melihat berbagai koleksi mata uang kuno dan mata uang negara lainnya, termasuk uang token dan uang perkebunan. Menarik, sungguh menarik!
Tak ada perjumpaan yang tidak diakhiri dengan perpisahan. Demikian pula dengan perjumpaan kami dengan Kota Tua pada hari Sabtu itu. Terlebih mengingat perut yang sudah keroncongan meminta diisi, akhirnya kami terpaksa mengakhiri kunjungan Kota Tua kami pada hari itu dan bergerak ke Bakmi GM Jalan Sunda. Tentunya dengan satu tekad: ini tidak akan menjadi kunjungan Kota Tua terakhir kami. Ya, kami akan kembali mengunjungimu, Kota Tua!

Saturday, June 07, 2008

Pantomim Bizot, Pantomim Kehidupan?

Di tengah kepenatan dan banyaknya pikiran yang berkecamuk di hari Jum’at lalu, akhirnya saya memutuskan untuk mencoba menonton pantomim Bizot (bagian dari Le Printemps Français 2008 yang diselenggarakan CCF). Awalnya hanya merupakan niat iseng karena belum pernah menonton satu pementasan pantomim penuh. Yang jelas, akhirnya saya sangat menikmati pementasan dari Phillipe Bizot, yang menurut saya adalah seorang entertainer sejati!

Apa yang unik dari pementasan pantomim? Bagi saya yang lebih terbiasa mengikuti gaya seni teater kontemporer—penuh dengan visual dan audio, kesempatan menajamkan perasaan melalui indra visual benar-benar menjadi kenikmatan tersendiri. Kesempatan dimana saya bisa menikmati penampilan sang seniman tanpa perlu “didoping” oleh berbagai efek suara atau dukungan lainnya. Dan entah mengapa, saya menjadi berpikir mengenai kehidupan sehari-hari.

Hidup saat ini mungkin bisa dibilang hidup yang sangat tidak bebas dari polusi suara. Ya, memang suara-suara di sekeliling kita ada yang indah dan perlu untuk didengar. Akan tetapi, betapa banyak pula yang semata-mata menjadi polusi? Memabukkan kita dengan berbagai gosip, cemoohan, atau dengan berbagai bunyi yang sebenarnya tidak perlu—tapi sadar atau tidak, kita menjadi semakin ketagihan, addicted dengan bunyi di sekeliling kita. Begitu keluar dari kantor dan masuk ke kendaraan kita (atau menumpang kendaraan umum), segera kita memasang radio atau MP3 player. Begitu sampai di rumah, televisi dengan suara-suara narator acara gosip segera menemani kita di rumah. Bahkan ketika berbicara dengan teman-teman kita pun, acapkali yang kita terima semata-mata suara-suara yang tidak selalu berdampak positif.

Kesempatan untuk menikmati keheningan—atau menikmati keindahan dunia dalam keheningan—menjadi suatu permata yang sangat berharga di zaman yang semakin menghargai kebisingan ini. Kesempatan untuk menikmati hubungan dengan rekan-rekan tanpa dinodai oleh suara-suara yang saling menjelek-jelekkan, kesempatan dimana kita dapat melihat seseorang apa adanya dalam kadar pribadi seutuhnya.

Pantomim Bizot, Pantomim kehidupan? Pantomim Bizot mengajar kita untuk melihat secara lebih mendasar.

Wednesday, May 21, 2008

Human and the Unfinished Matters

We were taught to never give up. We were taught to aim our dreams as high as possible. And strive for it.

Sometimes we dream for something from a long time ago. And yet, maybe it began to materialize just now, after several months (or even years!) of struggling (not merely of waiting). What an enjoyable moments that is, the moment the dream started to materialize.

And then, we’re enjoying the moments of another dream. And we realize that maybe, just maybe, the two dreams will be colliding, each consuming the other. Which one should be sacrificed?

Or perhaps as my colleague said it: impossibles are what we do best. Perhaps we could blend the two dreams to complement each other. Perhaps. It will be a great thing to do, maybe even impossible. How to accomplish it? Yet, the reward will be extravagant.

Maybe we can conclude that the mutualism of the two dreams is yet another dream. Borrowing (and modifying) Goenawan Mohammad’s book title: human and the unfinished matters: our dreams.

Sunday, May 11, 2008

Tidak Menjadi Aedificium

Saya merasa beruntung sekali kejadian-kejadian ini terjadi dalam waktu yang relatif dekat: TGiF menjadikan book-sharing sebagai kegiatan wajib, saya mulai membaca ulang The Name of the Rose, saya berkesempatan mengikuti seminar dari Bu Lilis Setiadi dua kali, dan order The Key to The Name of the Rose dari Amazon tiba di Jakarta. Sepertinya satu sama lain tidak ada kaitan sama sekali? Bagi saya pribadi ada J.

Salah satu godaan untuk seorang book-lovers adalah untuk meraup sebanyak mungkin bacaan dan informasi (berujung di pengetahuan pribadi), karena memang bisa menjadi sebuah pelampiasan baginya. Seperti suatu ketagihan terselubung.

Akan tetapi, apakah pengetahuan itu kemudian bisa disebarkan? Atau malah koleksi informasi itu hanya menjadi pengetahuan pribadi—yang semakin lama semakin menjauhkan kita dari lingkungan lain (yang dengan mudahnya dianggap sebagai lingkungan yang kurang cerdas?). Akhirnya malah menjadi menara gading, atau menjadi aedificium dalam The Name of the Rose? Tempat dimana mereka-mereka yang menganggap sebagai pribadi yang lebih menumpuk segala informasi yang mereka miliki. Menjadi harta karun yang tidak boleh dibaca oleh sebarang friar. Dengan cara apa pula mereka menilai siapa yang layak membaca dan siapa yang tidak? Dan harga apa yang harus dibayar oleh friar yang boleh membaca koleksi manuskrip di aedificium tersebut? Hmm... sangat bertentangan dengan prinsip kemajuan bersama.

Seharusnya keberadaan program baru TGiF ini membantu saya—dan rekan-rekan di Kayu Putih untuk tidak lagi menjadi aedificium. Terlebih bagi saya yang juga berkesempatan melihat bagaimana “asyiknya” para intelek seperti Bu Lilis yang dapat membagikan yang diketahuinya—secara gratis, bahkan mau kami “tahan” dengan seribu pertanyaan. Tidak ada yang dirugikan, toh?

Kecuali kalau memang kita ingin tetap menjadi sebuah aedificium yang berdiri dengan kokohnya di tengah biara—dan menyimpan segudang pengetahuan hanya untuk diri kita. Omong-omong, Anda tahu apa yang akhirnya terjadi dengan aedificium dalam The Name of the Rose? Pada akhirnya aedificium tersebut terbakar—berikut manuskrip-manuskrip di dalamnya.

Monday, January 14, 2008

Tidak Ada Tempat untuk Membaca

Perubahan alur aktivitas akhir-akhir ini juga membuat perubahan cara bepergian saya. Jika sebelumnya saya terbiasa menggunakan sepeda motor dan kadang-kadang mobil—keduanya dalam waktu tempuh yang cukup singkat, kini saya cukup sering menggunakan busway dan kadang-kadang mobil—dalam waktu tempuh yang lebih lama. Melelahkan? Cukup melelahkan, namun itulah konsekuensi dari perubahan kondisi.

Akan tetapi, saya bukan hendak menulis tentang lelahnya perjalanan. Yang jelas, saya menikmati suatu pengalaman yang berbeda ketika menggunakan busway. Kesempatan untuk melihat kondisi masyarakat Jakarta dengan lebih dekat lagi—merupakan suatu gambaran dari masyarakat Indonesia secara kasar? Dan saya menjadi menyadari, satu lagi kesulitan bangsa ini untuk bisa maju: bangsa yang maju adalah bangsa yang membaca, suatu pakem universal. Satu hal yang saya saksikan dalam keseharian di busway (dan membandingkannya dengan kondisi misalnya di MRT Singapura): sulit sekali untuk dapat meluangkan waktu membaca atau melakukan kegiatan produktif di moda transportasi ini. Jadi, belum tentu sebenarnya bangsa ini tidak gemar membaca. Bisa jadi kesalahannya ada di lingkungan yang tidak memberikan tempat yang nyaman untuk menjadi produktif: penuh berdesakan, penerangan yang acapkali tidak memadai, belum lagi resiko keamanan dan pelecehan yang mungkin terjadi. Di sisi lain, waktu seseorang yang terbuang di jalanan Jakarta cukup lama. Bagaimana mungkin mereka dapat menjadi pribadi yang membaca?

Benang kusut untuk membangun jiwa bangsa yang membaca menjadi semakin kusut!

Ditulis dalam masa-masa perumusan tema besar TGiF 2008: Habis GelapTerbitlah Terang, Habis Baca Terbitlah Cerdas.