Mereka yang di Tanah Abang
Minggu lalu, pas pulang kantor kehujanan :(. Selain badan basah kuyup, B 6390 UET yang sudah kotor pun makin belepotan. Kata orang, musim hujan kali ini merupakan siklus 5-tahunan banjir. Berarti harus mulai waspada banjir (!).
Omong-omong soal banjir di Jakarta, saya masih ingat sekali ke Banjir Besar 2002. Banjir kelas berat. Jakarta lumpuh. Dan kebetulan waktu itu saya sempat ikut di Tim Relawan kampus yang bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI). Jadilah beberapa hari itu saya beraksi di beberapa lokasi banjir.
Tapi satu lokasi yang benar-benar berkenang bagi saya adalah Tanah Abang. Tepatnya kantor PLN Tanah Abang. Kantor itu menjadi lokasi penampungan sementara dari rekan-rekan yang menjadi korban banjir waktu itu. Siapa saja yang ada disana? Dari cakupan umur bayi sampai mereka yang sudah berumur. Strata ekonomi? Menengah ke bawah (tentu saja, mereka yang berduit pasti tidak memilih lokasi itu untuk mengungsi). Pekerjaan? Pedagang, supir, bahkan sampai preman (saya malah sempat “terpaksa” berdebat dengan salah satu preman di sana dalam masalah distribusi bantuan).
Malam itu saya ingat sekali, ketika saya dan rekan-rekan di tim relawan harus membagikan stok makanan kecil serta sandang (sarung dan selimut) yang tersedia. Berhubung stok yang sangat sedikit dan jumlah pengungsi yang membludak, kami terpaksa menjatah barang-barang tersebut. Rasanya cukup berat ketika harus membagikan barang-barang tersebut dengan pembatasan yang sedemikian ketatnya (kami berjalan berkeliling lokasi pengungsian sambil membagikan barang-barang itu). Terlebih melihat adanya anak-anak kecil dan orang tua yang pasti kedinginan, tapi mengingat banyaknya pengungsi lain yang belum mendapat jatah mereka, kami melakukannya juga (jadi teringat ke pengalaman jurnalistik, dimana kadang kami sebagai jurnalis mengalami perdebatan nurani pribadi juga ketika meliput kejadian-kejadian penuh pergulatan).
Dengan kondisi tersebut, kami tetap dapat melihat ucapan syukur yang melimpah dalam mata rekan-rekan pengungsi (sementara saya, kadang masih kurang bersyukur dengan segala yang ada saat ini)—dan mereka dapat menerimanya dengan tertib. Dan segala ketakutan akan adanya ketidakteraturan dalam pembagian—atau malah aksi anarkis—segera sirna.
Rasa syukur dan berkecukupan memang tidak datang dari apa yang kita miliki, tapi semata-mata berangkat dari pribadi yang terdalam.
Akan tetapi, pengalaman membagikan itu bukanlah puncak yang saya terima di malam itu. Ketika saya dan rekan-rekan Tim Relawan sedang beristirahat (sambil bersiap untuk kembali ke Posko Kampus), ada beberapa rekan pengungsi yang menghampiri kami. Dengan kondisi mereka yang masih serba berkekurangan, mereka malah bertanya: “Adik-adik sudah makan belum, ini kami ada makanan” seraya menyerahkan sekantong nasi bungkus (saya masih ingat sekali isinya: nasi putih, telur dadar, dan tumis toge; sederhana secara fisik, besar secara makna). Saya dan rekan-rekan kehilangan kata-kata waktu itu. Di tengah kondisi mereka yang berkekurangan, ternyata mereka masih tetap memikirkan orang lain.
Malam itu, sambil berjalan di tengah-tengah banjir dengan hujan yang terus memukul-mukul kepala, saya menyadari: bersyukur tidaklah datang dari luar, tapi dari pribadi sendiri; memberi bukan dari kelebihan, tapi dari ketulusan hati.