Perubahan Semu
Comal, 22 Oktober 2006, di tengah perjalanan ke Parakan
Sekitar 5 bulan yang lalu saya melihat adanya suatu kesalahan dalam sistem manajemen usaha yang saya rintis bersama beberapa rekan-rekan saya. Kondisi lama menyebabkan kami tidak dapat melihat progress yang telah kami lakukan dengan tepat dan mengurangi keakuratan kami dalam menganalisa problem yang dihadapi serta langkah-langkah yang harus dilakukan.
Beberapa malam saya memikirkan kondisi tersebut dan mencoba merumuskan solusinya. Mulai berpikir seperti seorang Associate di McKinsey :). Pada akhirnya memang saya berhasil merancang beberapa perangkat manajemen dan standarisasi yang dapat membantu kami dalam menjalankan bisnis ke depannya. Dengan kata lain, melakukan perubahan dalam proses bisnis kami.
Dengan bangga dan bersemangat saya mempresentasikannya di depan rekan-rekan. Dengan berapi-api saya mengajarkan rekan-rekan untuk mulai menggunakannya, termasuk memperlihatkan kegunaannya ke depan.
Semua setuju! Semua mulai menggunakannya! Menyenangkan sekali.
Akan tetapi saya lupa bahwa perangkat yang saya bawakan tadi dan cara saya membawakannya hanya akan mengatasi masalah tangible dari proses kami. Saya lupa bahwa perangkat tersebut tetap tidak berdaya ketika semangat dasar dari manusia yang menjalankannya belum mempunyai sense of belonging dan urgensi dari perangkat tersebut.
Alhasil, dalam minggu-minggu pertama memang perangkat tersebut sangat membantu, tapi selanjutnya mulai terlihat bahwa perangkat tersebut menjadi kurang menggigit. Digunakan masih, namun dalam kedalaman yang berkurang dibandingkan awal-awalnya.
Ini juga yang sering terjadi dalam kehidupan manusia Kristen sehari-hari. Pada awal kebangunan rohaninya, sering terlihat bersemangat, berapi-api. Tapi apakah memang perubahan tersebut benar-benar perubahan mendasar, perubahan yang mencakup sisi-sisi tersembunyi dari personal tersebut atau baru menyentuh sisi tangible-nya saja?
Seorang Pemimpin Kelompok Kecil saya bahkan pernah berkata bahwa ia tidak begitu percaya pada orang-orang yang “dimenangkan” melalui Kebaktian Kebangunan Rohani. Alasannya: suasana dalam kebaktian seperti itu seringkali sudah mempermainkan emosi dahulu sehingga “komitmen” yang diambil dalam kondisi itu adalah komitmen yang sudah diwarnai emosi, bukan komitmen yang murni. Akibatnya yah seperti perangkat manajemen saya tadi, hanya ada di waktu-waktu awal, sesudah itu akan mati sendiri.
Saatnya kita bertanya, apakah memang kita sudah berubah atau hanya melalui suatu perubahan semu belaka?