Lucky Man
Hari Jumat kemarin saya dan sekumpulan teman (beberapa di antaranya baru hari itu saya kenal), mengikuti acara kebersamaan di Ancol. Di mobil dalam perjalanan menuju ke lokasi, entah dimulai dari mana, ada beberapa rekan yang memperbincangkan lokasi kerja masing-masing. Dan entah dari mana pula, AHM disebut-sebut. Kebanyakan dari rekan semobil belum mengetahui kalau saya bekerja di AHM. Dan ada dari rekan tersebut yang melontarkan keinginannya untuk sebenarnya bekerja di AHM. Menurutnya, bekerja di sana pasti “enak”, dengan segala jaminan kesejahteraan.
Mendengarnya saya hanya diam, karena rasanya agak tidak etis ketika dalam kondisi ia sedang menceritakan anganannya, mendadak saya memproklamirkan keberadaan saya yang bekerja di AHM.
Hanya saja saya jadi memikirkan, merefleksikan pengalaman kerja saya selama ini. Bersyukur sekali bahwa saat ini Tuhan telah mempercayakan saya untuk dapat berkarya di AHM. Terutama melihat histori pengalaman kerja saya.
Ya, saya sebelumnya pernah bekerja di beberapa perusahaan dengan kultur kerjanya masing-masing. Mulai dari sebuah perusahaan start-up yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan tender yang diikutinya, perusahaan dalam salah satu grup media terbesar di Indonesia yang saat ini telah terjebak dalam perangkap kemapanannya, hingga akhirnya di AHM dengan beban kerja yang cukup tinggi (namun menyenangkan) dan tantangan yang membludak.
Satu hal yang sangat saya syukuri bahwa dengan demikian saya dapat melihat berbagai metode manajemen perusahaan di Indonesia. Dan dapat mengambil plus-minus masing-masing.
Saya juga belajar untuk mengalami perubahan lingkungan kerja yang terkadang cukup drastis—seperti ketika pindah ke AHM. Perusahaan tempat saya bekerja sebelum AHM adalah perusahaan mapan, sudah cukup tua (kalau tidak salah, ketika saya meninggalkan perusahaan itu, ia baru saja berulang tahun ke-25). Dalam sejarahnya, perusahaan itu sempat sangat berkilau, menjadi market leader di bidang-bidang yang diterjuninya. Namun kini terlihat bahwa prestasi itu mulai memudar. Penjualannya dari tahun ke tahun terus mengalami kemandekan, termasuk juga pangsa pasarnya yang semakin mengecil.Saya melihat bagaimana ide-ide baru yang sebenarnya dapat menyegarkan kinerja perusahaan selalu ditolak dengan alasan klise: itu bukan gaya kami menjalankan bisnis. Saya melihat bagaimana generasi tua yang tetap berpakem pada gaya menjalankan bisnis lama memaksakan metode manajemen yang sudah tidak valid ke lingkungan bisnis saat ini yang sangat cepat dan bergejolak (tentunya tidak semua orang dari generasi tua berpandangan seperti ini). Namun yang terparah adalah ketika saya melihat tidak adanya penghargaan atas hasil kerja seseorang. Orang yang bekerja keras dan yang tidak bekerja sama sekali dianggap sama—bahkan terkadang orang yang tidak bekerja dianggap lebih daripada orang yang telah bekerja maksimal. Akibatnya tentu saja, tidak ada semangat kerja dari karyawan perusahaan tersebut—satu hal yang sempat menyerang saya juga di perusahaan tersebut.
Sempat terjadi sedikit goncangan ketika saya pindah ke AHM. Seperti dibalik total. Big bang, kalau kata orang astronomi. Perubahan yang radikal dan sangat cepat! Bukan suatu hal yang aneh untuk bekerja hingga larut malam atau malah menginap di kantor di AHM. Namun sepertinya justru lingkungan seperti ini yang saya senangi. Terlebih dengan kesempatan saya untuk belajar—dan belajar lagi.
Saya juga sempat melihat turn-around yang dilakukan perusahaan dalam kaitannya dengan penurunan produksi dan penjualan, suatu kondisi yang dihadapi semua perusahaan otomotif (termasuk Astra Group) di tengah kemerosotan daya beli masyarakat seiring dengan kenaikan harga BBM dan kebutuhan lainnya. Terlebih saat itu AHM cukup ditekan oleh kompetitor yang meluncurkan berbagai produk baru yang cukup inovatif. Kondisi yang sama dengan yang terjadi di perusahaan lama—kompetitor yang agresif dan bertambah secara jumlah sehingga persainansemakin memanas. Bedanya, perusahaan lama tetap bertahan dengan produk-produknya yang telah ada dan mengambil strategi untuk membanjiri pasar dengan produk-produk yang belum tentu laku (selama produk itu masih berlabelkan mereknya). Sementara itu AHM mengambil langkah dengan meluncurkan beberapa produk, beberapa di antaranya merupakan pengembangan dan improvement atas produk-produk lamanya yang cukup diterima pasar dan juga produk-produk yang memang baru sama sekali dan sesuai dengan tren pasar. Hasilnya, terbukti AHM kembali merebut pangsa pasar di daerah-daerah dimana posisinya sebagai market leader sempat tergoyahkan. Sedangkan bagi saya, kesempatan untuk membandingkan strategi yang diambil masing-masing perusahaan dalam menghadapi era kompetisi agresif ini.
Satu hal yang menarik bahwa di perusahaan ini saya berkesempatan untuk melihat gabungan dari dua corporate culture, budaya Astra yang berakar dari Indonesia dengan manajemen profesional bergabung dengan budaya Jepang-nya Honda. Lebih lagi ketika saya diterjunkan dalam proyek implementasi SAP di AHM. Bekerja sama dengan pihak luar AHM, dalam hal ini SAP Indonesia, Accenture, dan beberapa pihak lain. Budaya apalagi yang mereka bawa? Perusahaan-perusahaan multination dengan investor dari Jerman, Amerika, dan negara-negara lain. Kesempatan lagi untuk belajar mengenai budaya kerja beberapa perusahaan—kesempatan untuk membukakan mata lagi. Setelah di perusahaan sebelumnya yang cenderung menutup diri terhadap perusahaan lain sementara perusahaan diwarnai dengan sangat kental oleh budaya primodial Jawa. Akibatnya kesempatan untuk melihat dan belajar dari pihak lain sangat minim.
Pernah saya bertanya-tanya, kenapa tidak dari dulu saya berkesempatan untuk bekerja di perusahaan sekelas AHM? Dulu rasanya seringkali agak minder melihat beberapa rekan saya dapat bekerja di perusahaan yang notabene lebih wow dari perusahaan tempat saya bekerja (sebelum AHM). Tapi akhirnya melalui perjalanan ini saya dapat melihat bahwa melalui perusahaan-perusahaan lama itu saya memiliki kesempatan belajar sesuatu yang mungkin tidak pernah dirasakan rekan-rekan saya yang langsung bekerja di perusahaan besar. Kesempatan untuk melihat betapa beruntungnya dapat bekerja di perusahaan besar dengan jaminan kesejahteraan dan sistem kerja yang jelas. Sekarang beberapa rekan saya yang dulu bekerja di perusahaan besar itu malah kadang “iri” ke kesempatan saya bekerja di AHM.
Overall, I consider myself a lucky man.