« Home | Kembali Mengarungi Angkasa Luar » | Ide Pembuatan Gebyar Nusantara 1997 dan Tanggapannya » | Renungan dalam Kematian » | Bus Kota » | Merebut Dominasi Galaksi » | Dibalik Barisan Musuh » | Lebih Mudah Membuat Makhluk Hidup » | Mengupas Sebuah Legenda » | Dirgantara: Rusia vs AS vs Eropa: Siapa Pemenangnya? » | Danau Toba »

Tragedi

Sejarah berulang, pertama-tama sebagai tragedi, kemudian sebagai banyolan.

--Karl Marx

Ini sebuah insiden yang pasti dianggap sangat penting dalam sejarah manusia—paling tidak dalam sejarah Amerika Serikat, pada suatu hari pada tanggal 11 September 2001. Sebuah pilar simbol keperkasaan dan kekayaan mengalami penyerangan kembali—dan kali ini hancur.

Jika diingat, sebenarnya telah beberapa kali Gedung World Trade Center (WTC) mengalami serangan teroris. Pada tahun 1993, Sheikh Omar Abdel-Rahman dan komplotannya telah melakukan pengeboman di lantai underground WTC, menyebabkan paling tidak lima orang meninggal dunia dan 600 orang lainnya terluka. Selain itu juga tercatat beberapa kali usaha “penyerangan” ke WTC. Sebenarnya apa yang menyebabkan WTC sebegitu menariknya bagi para teroris? Pernah dikatakan bahwa WTC menjadi simbol kekuatan ekonomi Amerika Serikat di dunia. Masalahnya sekarang, apakah memang kejadian Selasa Kelabu itu memang suatu ulangan tragedi ataukah suatu banyolan yang kelewatan?

Hampir semua media massa terkena efek dari Selasa Kelabu. Semua pasti memuat artikel mengenainya, bahkan masih menjadi headline dalam minggu-minggu terakhir ini. Menarik, karena kita mendapatkan informasi terbaru dari kejadian itu. Mengesalkan, karena jatah berita lainnya diambil olehnya dan menimbulkan kejenuhan. Namun yang seringkali tak diceritakan dalam laporan media massa tersebut adalah sebenarnya siapa yang menjadi teroris dalam kejadian tersebut.

Tiap orang memiliki versi sendiri tentang siapa sebenarnya teroris dan pejuang dalam kejadian tersebut. Warga Amerika Serikat mengatakan bahwa Osama bin Laden, Taliban dan Afganistan adalah terorisnya; Tentara Amerika adalah pejuangnya. Osama dan para pendukungnya mengatakan merekalah pejuang; Amerika Serikat adalah terorisnya. (Sebagian) Warga Indonesia mengatakan bahwa mereka yang melakukan sweeping adalah pejuangnya; Warga asing yang ada di Indonesia adalah terorisnya (memangnya mereka salah apa?).

Perbedaan antara pejuang dan teroris sangatlah tipis, bergantung kepada dari sudut pandang siapa saat ini sang penilai berada. Ya, bagaikan dunia yang menjadi objek relativisme, demikian juga penilaian terorisme. Dan sebenarnya di dalam kejadian ini banyak orang semakin dapat berkaca sambil membanyol, “apakah sebenarnya saya adalah seorang teroris?”

Banyolan pertama yang kita dapat mungkin dari sisi Amerika Serikat. Bagaimana mungkin negara adigdaya yang (katanya) memiliki sistem pertahanan supercanggih itu dapat dikalahkan hanya dengan cutter? Bagaimana Osama (saya menghindari penggunaan kata teroris untuk menyebut Osama karena alasan yang telah disebutkan tadi) mengulangi sejarah Perang Vietnam dimana Amerika Serikat dengan persenjataannya yang canggih dikalahkan oleh Vietnam dengan kesederhanaan senjatanya. Tragedi memang karena banyak korban jiwa di kedua kejadian tersebut. Sejarah berulang dengan kembalinya jatuh korban, namun kali ini “teroris” di belakang mereka, bukan tentara komunis.

Banyolan kedua kita dapatkan dari sisi masyarakat Amerika Serikat yang mendadak menjadi nasionalis dan bersatu. Padahal dalam minggu-minggu terakhir sebelum Selasa Kelabu, isu rasialisme antara kulit putih dan kulit hitam kembali merebak di Amerika Serikat. Banyolan dimana masyarakat hanya dapat bersatu ketika kenyamanan mereka terancam. Banyolan dimana mendadak pesanan bendera Amerika Serikat di seluruh dunia meningkat drastis—sampai-sampai pabrik bendera di China terpaksa mengalihkan produksinya. Tragedi, karena nasionalisme hanya terjadi di dalam keterpaksaan. Banyolan ketika kita pikirkan tentang perlunya ancaman untuk menimbulkan nasionalisme (sejati?).

Banyolan ketiga, mungkin yang terbesar, kita dapatkan dari Presiden Bush. Manusia politik yang sebelumnya menjadi bulan-bulanan politik dengan berbagai keputusannya yang cukup kontroversial—saingan Gus Dur mungkin?—kini menjadi superstar dengan segala keputusannya. Banyolan ketika Bush mendadak menjadi badut politik yang terjun ke reruntuhan WTC dengan selalu menenteng megaphone, meneriakkan semboyan antiterorisme—tanpa kejelasan siapakah teroris sebenarnya.

Banyolan yang sangat ironis juga tidak terlupakan. Banyolan dimana sedemikian cepatnya perhatian dunia lepas dari derita pada korban ke rencana penyerangan Amerika Serikat ke Afganistan. Banyolan Indonesia, ketika dapat mengatakan menentang rencana yang dapat menyebabkan rusaknya keamanan internasional sementara keamanan dalam negeri sendiri terlupakan. Banyolan dimana sweeping terhadap warga keturunan dan agama tertentu pada Mei 1998 diganti dengan sweeping terhadap masyarakat luar negeri. Banyolan dimana kita ingin mendapatkan bantuan dari luar negeri, namun kita mensweeping masyarakat luar negeri yang (sedang sial) berada di negeri ini.

Kenapa pula pada saat ini posisi Amerika Serikat terlihat seperti pejuang? Mungkin karena keadaan sedikit berubah, Amerika yang biasanya menjadi “penyerang” kini menjadi pihak yang “diserang”. Penyerang dalam konteks ini, tidak harus menjadi penyerang secara militer. Entah sudah berapa kali Amerika menjadi penyerang dalam ekonomi, politik atau aspek lainnya terhadap negara-negara lainnya. Deklarasi Protokol Kyoto yang masih belum terlalu lama contohnya. Apakah tidak cocok bila suatu negara yang tidak peduli terhadap tingkat polusi global disebut sebagai teroris? Penyerangan ketika Amerika Serikat terlalu banyak mencampuri urusan negara lainnya—dengan begitu banyak campur tangannya yang seakan tak berkesudahan. Penyerangan ketika secara tidak langsung Amerika Serikat mengangkat dirinya menjadi polisi dunia yang berhak mengatur lalu-lintas segala hal di dunia.

Sebenarnya entah sudah berapa kali Amerika Serikat mengalami serangan dari mereka yang dicap “teroris”. Dan entah berapa kali pula Amerika Serikat seperti tidak puas untuk mengalaminya lagi. Entah berapa kali sejarah berulang, membuat semua terbiasa, tak ada yang perlu didebarkan atau dicemaskan. Hanya kali ini sedikit monumental saja caranya. Mungkin ini yang dimaksud Shakespeare dalam “Comedy of Errors”-nya atau Judith Buttler dengan “parodic performance”. Seperti terjadi pengulangan, pelaku mengikuti sebuah pola—padalah sesungguhnya sedang mempermainkannya. Tapi dapat saja saya salah menginterpretasikannya. Sebuah parodi tidak boleh menjadi sesuatu yang terlalu serius, bukan untuk mereka yang dapat memiliki keyakinan yang sangat kuat atas idenya sendiri. Parodi diperuntukkan bagi mereka yang tidak terlalu gila kekuasaan dan mengetahui batas-batasan tindakannya. Terlepas dari itu, yang tersaji hanyalah suatu banyolan konyol dari tragedi karena sejarah yang terulang.

Tulisan pernah dimuat di Website Persekutuan Oikoumene Bina Nusantara