« Home | Pers Menghadapi Tantangan Lingkungan » | Tragedi » | Kembali Mengarungi Angkasa Luar » | Ide Pembuatan Gebyar Nusantara 1997 dan Tanggapannya » | Renungan dalam Kematian » | Bus Kota » | Merebut Dominasi Galaksi » | Dibalik Barisan Musuh » | Lebih Mudah Membuat Makhluk Hidup » | Mengupas Sebuah Legenda »

Terorisme, Lee Kuan Yew dan Indonesia

Sejak musibah 11 September yang lalu, semua orang, tak terkecuali bangsa Indonesia, menjadi sangat sensitif terhadap kata “terorisme”. Terlebih ketika negara kita ini dituding sebagai salah satu tempat berlindungnya terorisme yang dapat mengancam negara lain oleh salah satu tokoh politik paling berperan di Asia Tenggara. Dalam kondisi emosional yang masih berupaya memulihkan diri dari bencana banjir nasional, sekilas pernyataan itu seperti hanya menguak luka baru.

Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan Lee Kuan Yew—Perdana Menteri Senior Singapura—tersebut, berbagai reaksi terlihat segera setelah pelontarannya. Namun sebenarnya cukup banyak bahan refleksi yang bisa kita peroleh dari pernyataan Lee. Yang jelas, kalaupun tidak menjadi tempat perlindungan teroris, satu hal yang pasti adalah bahwa Indonesia menghadapi ancaman terorisme. Dapat dengan mudah diingat berbagai aksi pengeboman yang sempat berlangsung, mulai dari pengeboman di depan Kedutaan Besar Filipina, pengeboman Atrium Senen, hingga pengeboman Gereja (yang secara ironis terjadi di malam Natal). Mengingat semuanya itu, bukankah pernyataan Lee menjadi “sentilan” bagi proses penegakan keamanan di Indonesia yang terbilang lamban. Tommy memang telah ditahan dan ditindaklanjuti (semoga memang dengan penegakan hukum yang sesungguhnya), namun proses peradilan Indonesia masih menempuh jaan yang amat panjang. Sentilan ini dapat menjadi cambuk untuk semakin menggiatkan usaha kita.

Kembali berpijak pada peristiwa pengeboman Atrium Senen. Bukan kebetulan kalau waktu itu pelaku pengeboman tertangkap dan ternyata berasal dari kelompok Muslim radikal Malaysia. Kesimpulannya: Indonesia minimal telah menjadi daerah operasi yang cukup disenangi untuk kegiatan terorisme. Kenapa? Mungkin dapat dikatakan bahwa rakyat Indonesia termasuk gampang untuk diobok-obok, meminjam istilah Joshua si penyanyi cilik. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh fakta bahwa selama ini kompetensi penegakan hukum di Indonesia sangat merisaukan. Singkat kata, surga bagi terorisme.

Posisi dan sikap Indonesia sendiri di dalam peta terorisme terbilang agak membingungkan. Hampir semua negara tetangga, Singapura, Malaysia dan Filipina secara terbuka menyatakan perang terhadap terorisme dan menunjukkan sikap keras terhadap mereka yang dicurigai sebagai pelaku terorisme oleh masing-masing negara. Indonesia sementara itu, menyatakan perang terhadap terorisme, namun kemudian seperti terombang-ambing dalam kebingungan sendiri untuk melangkah lebih lanjut. Mungkin memang tidak dapat disalahkan sepenuhnya mengingat permasalah yang sedang dihadapi Indonesia pada saat itu. Tapi yang jelas, dari ketiga negara tetangga tersebut pula semakin tercium kemungkinan keberadaan suatu jaringan terorisme regional (atau internasional) di Singapura, Malaysia, Filipina dan ...Indonesia.

Pandangan tersebut didapat dari tersangka-tersangka yang berhasil diamankan oleh aparat dari ketiga negara tetangga tadi. Diduga seorang tokoh yang saat ini berada di Indonesia adalah otak di balik segala kegiatan terorisme regional—dan orang ini pula yang saat ini sedang diinginkan oleh aparatur Singapura dan Malaysia. Bukan kebetulan jika kemungkinan orang ini pula yang dimaksudkan oleh Lee dalam pernyataannya.

Jika pengamatan difokuskan hanya kepada Indonesia dan Singapura, dapat terlihat beberapa hal yang menarik. Singapura jelas adalah negara yang pro-Barat. Bukam kebetulan pula jika di negara tersebut mayoritas penduduknya adalah non-Melayu dan non-Muslim. Dengan kondisi seperti itu, Singapura juga menjadi negara yang dikelilingi oleh negara-negara lain dengan mayoritas penduduk Muslim Melayu. Akibatnya tidak sedikit orang yang mengasosiasikan penyataan Lee sebagai “serangan” terhadap kenyataan ini sembari mencari poin dari Presiden Bush. Tudingan ini semakin diperkuat ketika kita ingat akan penahanan terhadap 13 orang warga Muslim Melayu Singapura yang diduga terlibat terorisme. Bagaimanapun kejadian ini dapat memicu sentimen publik bahwa pemerintahan Singapura bertindak keras terhadap Muslim Melayu.

Mungkin kondisi etnis-agama tersebut yang memicu reaksi keras dari banyak warga Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah, lagi-lagi, oleh emosi publik yang masih terpengaruh musibah banjir dan juga kerusakan lingkungan akibat ekspor pasir laut—baik legal maupun ilegal—ke Singapura, walaupun memang tetap harus diakui faktor etnis-agama kelihatannya lebih banyak berperan.

Beberapa respons masyarakat menuding pernyataan Lee cenderung yang menyerang begitu saja. Tapi sekali lagi, pernyataan Lee seharusnya menjadi bahan refleksi kita. Jika dianggap Lee (atau pemerintahan Singapura) berlaku tidak adil terhadap Indonesia atau etnis-agama, masa lalu Lee perlu ditinjau juga. Sejak dulu Lee dapat dikatakan sebagai pemerintah yang keras dan tegas terhadap pelanggaran hukum di negaranya tanpa pandang bulu. Jika hendak dikatakan Lee berorientasi pada etnis non-Melayu, hal ini dapat terbantahkan dengan fakta demonstrasi dan mogok kerja yang harus dihadapinya pada masa-masa awal pemerintahannya. Lee pernah menghadapi ancaman demonstrasi dan mogok kerja yang digerakkan baik oleh etnis Melayu maupun non-Melayu. Terhadap kedua belah pihak tersebut, sikap Lee tetap keras sesuai dengan pelanggaran mereka. Selain itu, sikap Singapura dalam kasus Michael Fay, warga negara Amerika Serikat yang tertangkap melakukan vandalisme, memperlihatkan komitmen mereka bahwa mereka bukan pihak yang hanya menjadi “yes-man” begitu saja terhadap Amerika. Dapat dikatakan bahwa Singapura bukanlah pro-Barat yang fanatik buta begitu saja, namun tetap menggunakan pertimbangan rasio.

Pada akhirnya, ada saja kemungkinan reaksi keras (dari elite politik Indonesia) terhadap pernyataan Lee sebenarnya hanya bertujuan untuk memainkan emosi publik dan mencari simpati, mengingat sebenarnya bukan hanya sekali ini Indonesia menerima kritik semacam ini. Dan juga tidak dapat dilupakan bahwa Indonesia juga pernah mengeluarkan pernyataan-pernyataan mengenai negara lain. Pada saat ini, diperlukan kerendahan dan keterbukaan hati untuk dapat menerima pernyataan Lee sebagai suatu kritik dan masukan yang akhirnya dapat mempererat dan membangun sesama negara Asia Tenggara. Paling tidak agenda anti-terorisme pasti merupakan agenda bersama. Dan terorisme adalah masalah yang pemecahannya tidak mungkin dilakukan sendiri, melainkan harus melalui kerjasama antarnegara. Alangkah baiknya bila Indonesia dan Singapura bergandeng tangan menghadapi terorisme.