« Home | Tahun 2006 dalam Hidupku » | Blogging to Bless? » | Topeng » | Ketika Vendetta Berganti Visi Vitalisasi » | Ma’af atau Ma’af » | To Change or Not To Change: Doing My Best in an Ev... » | Mirror Blog » | Mereka yang di Tanah Abang » | Casino Royale (2) » | Casino Royale (1) »

Curse of The Golden Flower

Nama besar Zhang Yimou sepertinya sudah menjadi jaminan tersendiri akan kualitas film ini. Dan itu salah satu alasan saya akhirnya memutuskan untuk menonton film ini.

Hasilnya? Secara visual memang film ini sangat mengagumkan: kolosal! Kualitas para pemainnya pun sudah tidak diragukan lagi: Chow Yun Fat dan Gong Li, dua nama besar di dunia perfilman Cina. Ceritanya pun dibawakan secara menarik—walaupun membutuhkan konsentrasi ekstra untuk mengikutinya karena teknik subtitling yang kurang baik.

Akan tetapi saya menjadi berpikir terus ketika menonton film ini. Sepertinya memang sudah merupakan “tradisi” di keluarga monarki kerajaan-kerajaan dahulu untuk terjadi perebutan kekuasaan. Hingga seekstrim yang digambarkan dalam film ini mungkin: suami yang membuang istri pertamanya dan meracuni istri keduanya; istri kedua yang berencana melakukan kudeta terhadap suaminya (raja) sambil melakukan incest terhadap putra tirinya; anak pertama yang seperti kebingungan dan memadu kasih dengan gadis yang (ternyata!) adik kandungnya; putra kedua yang berambisi merebut kekuasaan ayahnya dan melakukan pembelotan (walaupun dengan label melindungi ibunya); anak terkecil yang diam-diam menyimpan ambisi dan dendam—hingga tega membunuh kakaknya sendiri.

Melihat keluarga yang digambarkan dalam film ini—dan menengok tren yang terjadi saat ini, dimana pertalian keluarga seringkali tidak berarti pribadi-pribadi yang ada dalam keluarga tersebut saling mengasihi, bahkan dapat saling bertikai dan membunuh (tengok saja koran-koran picisan atau tabloid gosip untuk membuktikannya), apakah memang keluarga sudah kehilangan maknanya? Apakah memang keluarga sudah tidak dibangun atas dasar cinta kasih?

Ketika keluarga sebagai struktur sosial paling sederhana yang dapat mewujudkan kedamaian sudah melupakan fungsi pembawa damainya, pilihannya hanya satu: manusia saling menghancurkan.