Wisata Kota Tua Episode 1
Setelah kami mengisi amunisi perut kami, kaki pun melangkah ke pintu gerbang Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah). Apa mau dikata, ternyata museum sedang penuh sesak oleh kunjungan rombongan adik-adik muda siswa sebuah SMU. Karenanya kami mengurungkan niat untuk memulai wisata budaya di Museum Fatahillah dan beranjak ke Museum Wayang. Sungguh menakjubkan! Bangunan yang dulunya gereja tua ini penuh dengan desain kolonial yang mempesona mata. Koleksi wayang di dalamnya pun sungguh memikat hati. Nasib baik sepertinya sedang berpihak pada kami-kami ini. Tour guide yang sedianya disewa oleh rombongan lain, ternyata malah akhirnya "membelot" ke rombongan kami. Jadilah kami menikmati santapan komplit: mata disuguhi arsitektur yang menawan ditambah suguhan koleksi berbagai jenis wayang yang ada, dengan iringan suara sang tour guide yang menjelaskan koleksi demi koleksi yang ada. Wah, sambil menikmati sajian visual, telinga dan otak juga disuguhi informasi yang tak kalah menariknya. Ternyata ada berbagai jenis wayang selain wayang kulit dan wayang topeng loh! Bahkan ada wayang yang digunakan dalam kegiatan penginjilan di pelosok tanah air (bayangkan, wayang kulit dengan karakter Adam, Hawa, dan Iblis; dilengkapi pula dengan Gunungan bercorak Salib).
Sayang sekali sebagian bangunan Museum Wayang sedang direnovasi sehingga kami tidak dapat melihat seluruh koleksi yang ada (termasuk koleksi Wayang Intan, primadona museum ini). Akan tetapi kekecewaan ini terobati sebagian karena ternyata tour guide tadi mengizinkan kami masuk ke area yang sedang direnovasi itu, dan mengunjungi areal Makam Jan Pieterzoon Coen (Gubernur VOC dulu). Kesempatan ini tidak disia-siakan kami untuk mengabadikan kunjungan dalam berbagai foto yang menawan.
Puas dari Museum Wayang, kaki pun melangkah kembali ke Museum Sejarah Jakarta. Kesempatan ini kami sukses masuk ke dalam museum dan melihat berbagai koleksi yang ada: peninggalan arca dan prasasti purbakala, senjata-senjata zaman kolonial, perabotan dan keramik Hinda Belanda dulu, hingga ke foto-foto dan informasi tentang Djakarta (atau lebih baik disebut Batavia?) Tempoe Doeloe.
Mata kami semua mendadak tertuju ke satu ruangan tanpa pintu di ruangan bawah tanah. Ruang apa itu? Ternyata penjara bawah tanah! Ya, maklum saja, dulunya bangunan ini memang pernah digunakan sebagai balai kota setelah sebelumnya digunakan juga sebagai pengadilan. Jadi para terdakwa akan ditahan berdesakan di ruangan sempit nan sumpek dan pengap (bayangkan, kami tak dapat berdiri tegak dan harus setengah membungkuk dalam ruangan tersebut, yang mana ruangan itu biasanya diisi oleh puluhan narapidana). Informasi yang kami dapat, alun-alun di depan museum ini juga digunakan sebagai tempat eksekusi para terpidana mati, entah itu dipancung atau digantung.
Puas berpetualang di dalam bangunan museum, kami pun bergerak ke halaman belakang museum tersebut. Ada apa disana? Wah, area yang tak kalah menarik! Beberapa penjara bawah tanah berhasil kami telusuri di halaman ini. Tak lupa kami berfoto di depan patung Hermes yang dulu diletakkan di Jembatan Harmoni. Ada satu objek yang tak boleh dilewati di area ini: Meriam Si Jagur! Ya, meriam yang kabarnya merupakan leburan dari 16 meriam kecil lainnya ini kini mendekam di halaman dalam museum setelah sebelumnya diletakkan di alun-alun Kota Tua. Meriam berukuran besar dengan bagian belakang yang melambangkan kesuburan ini dipercaya dapat membawa banyak keberuntungan bagi orang-orang yang memegang bagian jempolnya. Percaya akan tahayul itu mungkin tidak, tapi melepaskan kesempatan untuk berfoto dengan meriam tersebut? Jangan harap! Pasukan narsis ini pun menghabiskan sekitar 15 menit hanya untuk berfoto dengan peninggalan ini.
Siapa bilang semua museum Indonesia itu kuno dan hanya berisi barang membosankan? Kami membuktikan kalau itu hanya usapan jempol! Betapa tidak, Museum Bank Indonesia menjadi objek kunjungan berikutnya. Museum yang letaknya di seberang Halte Busway Kota ini, memberikan kejutan pula bagi kami: tiket masuk gratis! Padahal bangunan dan fasilitasnya sungguh memanjakan diri. Bangunan nan indah, dilengkapi dengan fasilitas AC dan segudang media interaktif multimedia ini membawa kami masuk ke alam tersendiri. Di depan loket tiket, kami sudah disuguhi dengan ruangan-ruangan teller djaman doeloe. Ternyata isu privasi sungguh dijaga dalam kegiatan perbankan dulu. Kaki kami pun melangkah ke Ruang Peralihan. Ruang apa pula ini? Ternyata ruangan ini merupakan wahana interaktif nan mengasyikkan. Gambar koin-koin jatuh ditembakkan ke dinding layar, dan koin-koin tersebut dapat "ditangkap" oleh tangan-tangan nan hiperaktif milik kami. Apa yang terjadi ketika kami berhasil menangkap koin tersebut? Oh, informasi detail mengenai koin itu akan dimunculkan. Menarik dan mengasyikkan, membuat kami enggan untuk segera meninggalkan ruangan ini.
Museum ini menampilkan sejarah lembaga keuangan sentral di Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia berdiri. Tertera bagaimana sistem perekonomian Nusantara dulunya, komoditi yang sering digunakan untuk pertukaran barang, hingga ke sepak-terjang Bank Indonesia dalam membantu menjaga perekonomian Indonesia. Kami juga melihat evolusi logo Bank Indonesia yang dulunya bernama De Javasche Bank. Ada pula diorama-diorama perbankan, termasuk perbankan dalam masa peperangan. Yang sangat berkesan, kami sempat mengoperasikan pintu brankas bank sentral yang tebalnya sekitar setengah meter! Berat dan kokohnya luar biasa! Kami juga melihat berbagai koleksi mata uang kuno dan mata uang negara lainnya, termasuk uang token dan uang perkebunan. Menarik, sungguh menarik!
Tak ada perjumpaan yang tidak diakhiri dengan perpisahan. Demikian pula dengan perjumpaan kami dengan Kota Tua pada hari Sabtu itu. Terlebih mengingat perut yang sudah keroncongan meminta diisi, akhirnya kami terpaksa mengakhiri kunjungan Kota Tua kami pada hari itu dan bergerak ke Bakmi GM Jalan Sunda. Tentunya dengan satu tekad: ini tidak akan menjadi kunjungan Kota Tua terakhir kami. Ya, kami akan kembali mengunjungimu, Kota Tua!