Antara Diktatorisme dan Demokra(tisa)si Keroyokan
Beberapa hari yang lalu, perdana menteri Malaysia, Dr. Mahathir bin Muhammad mengeluarkan suatu pernyataan yang—sejujurnya—cukup mengejutkan. Dr. M mengatakan bahwa di beberapa negara tertentu diktatorisme itu penting—dan ia berbicara dalam konteks menentang demokrasi Barat yang menurutnya hingga kini seringkali bersikap tidak menyenangkan bagi kelompok negara yang diwakilinya—Dr. M mengeluarkan pernyataan ini dalam pertemuan negara yang beranggotakan negara-negara Muslim. Mungkin memang beberapa negara Barat—yang notabene beraliran politik demokrasi seringkali bersikap keras terhadap negara-negara tersebut. Namun di sisi lain, perkataan Dr. M juga semakin membuktikan sikap pemerintahannya yang selama ini telah terkenal—diktatorisme. Telah cukup banyak kasus-kasus diktatorisme dari kepala negara yang satu ini, yang paling hangat mungkin masih berkisar sekitar konfliknya dengan (eks) Deputi Anwar Ibrahim, dimana Anwar sampai menerima penyiksaan fisik bahkan tuduhan homoseksual. Terhadap Pers, Dr. M juga telah beberapa kali membredel penerbitan-penerbitan yang terkesan menyerang pemerintah Malaysia.
Namun jika dikaitkan dengan konteks Indonesia—suatu negara yang katanya menjunjung asas-asas demokrasi—apa kaitan Dr. M sebenarnya? Mungkin “saingan” Dr. M untuk panjang masa pemerintahan dan cara menekan suara rakyatnya telah lengser keprabon beberapa tahun yang lalu. Yang menjadi pertanyaan: apakah memang Indonesia telah terlepas dari “diktatorisme” dan benar-benar menjadi negara demokrasi? Satu hal yang penting adalah bahwa demokrasi itu tidak hanya dapat dilihat dari para pemimpinnya saja. Pemimpin dalam kasus ini berarti para pejabat pemerintah yang duduk di lembaga-lembaga legislatif. Rakyat juga menjadi penilaian apakah memang suatu negara telah menjadi negara demokrasi.
Orang-orang banyak berkata Indonesia sedang dalam proses menuju demokrasi. Namun terkadang terlihat bahwa yang ditempuh Indonesia saat ini bukanlah proses menuju demokrasi, namun demokratisasi. Istilah ini saya pergunakan untuk menunjukkan demokrasi yang dipaksakan. Mengapa dipaksakan? Karena masih ada keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk mempertahankan kekuasaan diktatornya. Dan jika kita melihat seringkali terjadi pengerahan massa dengan tujuan untuk mencapai (baca: memaksakan) tujuan-tujuan tertentu. Kejadian seperti Peristiwa 27 Juli, dimana terjadi bentrok antar dua kelompok warga PDI (yang berbeda haluan) mencirikan hal-hal ini. Intinya dimana terjadi pengerahan massa—suatu kejadian yang dapat dikatakan sebagai keroyokan—oleh pihak tertenti dan berakibat pemerintah (secara khusus) dan rakyat (secara umum) diteror oleh massa tersebut untuk mencapai tujuan dari pihak tertentu. Mirip dengan diktatorisme? Memang, karena demokratisasi keroyokan ini dapat saja merupakan suatu topeng baru bagi diktatorisme.
Kejadian demokratisasi keroyokan ini memang tidak terjadi hanya di Indonesia saja. Negara-negara yang lain juga pernah mengalaminya. Amerika Serikat secara khusus mengalaminya dalam masa-masa rasialisme, dimana KKK (Ku Klux Klan) memaksakan Undang-undang Apartheid untuk berlaku. Singapura pernah mengalaminya—terutama pada masa-masa awal berdirinya Singapura. Bapak Negara Singapura, Senior Prime Minister Lee Kuan Yew menuturkan dalam bukunya From Third World to First, masa ketika Singapura harus menghadapi tekanan dari serikat pekerja upah harian negara tersebut.
Hal yang dapat dicermati adalah penanganan masalah demokratisasi keroyokan ini dapat secara damai maupun secara berdarah—suatu hal yang seringkali menimbulkan diktatorisme kembali. Selain itu juga diperhatikan apakah memang kondisi masyarakat saat itu sudah siap untuk menuju ke suatu keadaan demokratis, atau kondisi dimana rasisme tidak berlaku—dalam kasus KKK-Apartheid. Demokrasi juga membutuhkan suatu kedewasaan berpikir, dan dalam kasus AS maupun Singapura, rakyat telah cukup memiliki intelektual untuk menghadapi proses tersebut.
Bagaimana dengan rakyat Indonesia? Diharapkan agar kesiapan itu dapat segera terwujud. Karena saat ini bisa dibilang kesiapan tersebut belum tercapai. Contoh paling gres adaah ketika Pemilu yang lalu. Dengan keberadaan beberapa partai baru, apakah memang rakyat siap untuk “Pemilu Gaya Baru” tersebut? Kenyataan tidak—terutama di pedesaan. Saya pernah mendengar bahwa ada seorang pemilih yang salah mencoblos kertas suara hanya karena suatu kesalahan yang sangat konyol. Dia hanya tahu kalau nomor 1 itu PPP, nomor 2 itu Golkar dan nomor 3 itu PDI. Dan itu tidak akan berubah dalam pandangannya. Jadilah dia mencoblos salah satu angka, antara 1, 2 dan 3 tanpa tahu bahwa telah ada perubahan nomor partai. Konyol? Memang, namun kembali mencirikan “kedewasaan” berpolitik rakyat. Dan yang juga mempersulit adalah kesadaran politik masyarakat—secara khusus kaum muda yang diwakili mahasiswa. Usia mahasiswa adalah usia dimana diharapkan kesadaran politik itu telah muncul. Dan itu memang telah ditunjukkan oleh beberapa mahasiswa Indonesia. Namun seringkali terkesan pada beberapa mahasiswa bahwa kesadaran mereka hanyalah kesadaran ikut-ikutan. Temannya demo, saya demo. Dia berorasi, saya juga. Ini tidak berarti bahwa semua mahasiswa harus berdemo turun ke jalan. Namun kembali pada kesadaran dasarnya. Hal lain adalah ketika bahkan antara mahasiswa lain universitas terjadi bentrokan. Kembali penyelesaian jalan baku hantam menjadi pilihan. Memang mahasiswa menginginkan terjadinya kedewasaan berpolitik rakyat. Namun mahasiswa sendiri harus mendewasakan wawasan politik mereka. Salah satunya dengan mengetahui perkembangan dunia. Merupakan sesuatu yang amat menyedihkan jikalau mahasiswa tidak pernah menyentuh koran atau majalah berita seperti Tempo, menonton siaran berita atau membuka website berita. Terutama jikalah mahasiswa tersebut ada dalam suatu fakultas yang katanya menekankan kepada Teknologi Informasi. Apa gunanya mereka mempelajari TI kalau pada akhirnya mereka sendiri tidak dapat mengetahui informasi tersebut?
Dari para pemimpin sendiri juga dibutuhkan suatu kesadaran demokrasi. Demokrasi pada dasarnya berarti “saya tidak main sendiri dan memaksakan kehendak”. Mengenai poin tidak memaksakan kehendak saya yakin semua pembaca dapat memberikan komentar yang amat detail. Namun pada poin “saya tidak main sendiri” juga belum dapat ditemukan seorang figur yang benar-benar baik. Saya ingat pada seorang tokoh politik Indonesia. Dulunya saya mengagumi dia karena keberaniannya untuk memulai aksi menentang Pemerintahan Orba, baik di dalam negeri maupun di luar negeri—ketika belum ada tokoh lain yang sefrontal dia. Tokoh tersebut bahkan sempat mendekam di penjara akibat tindakannya ini. Namun ketika akhirnya dia bebas dan partainya masuk ke kancah Pemilu, saya melihat sesuatu yang lain darinya. Sebagai ketua partai, saya mendapat kesan bahwa partainya tidak memiliki orang lain yang dapat dimajukan karena dimanapun dialah yang menjadi utusan partai tersebut. Umumnya ini menjadi dasar diktatorisme di generasi berikutnya.