Ketika Suatu Cap Diberikan Secara (Tidak) Adil
Catatan Penulis: Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela atau menyerang siapapun. Tujuan penulisan ini hanya untuk membukakan keadaan yang sesungguhnya terjadi.
Ditulis untuk menyikapi aksi demonstrasi internal mahasiswa Bina Nusantara menyikapi kebijakan drop-out yang ditetapkan pihak kampus.
“Orang cenderung membuka hati bagi orang lain yang dihormati”
- Baltasar Gracian
Suatu ungkapan yang diberikan oleh pengarang Spanyol ini, diakui atau tidak, selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Seseorang (atau sekelompok orang) yang memiliki kekuasaan atau kedudukan yang terhormat senantiasa menjadi pihak yang mendapat banyak keuntungan dari masyarakat umum. Dapat dipastikan bahwa khalayak akan berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untuk melayani orang yang dihormatinya dan juga dengan mudah membuka hati dan pikirannya terhadap pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh orang yang dihormatinya. Sebaliknya, terhadap orang-orang yang dianggap “tidak bermutu”, pandangan tertutup dan mencibirkan selalu terbentuk—seringkali terhadap keseluruhan kelompok yang dicibirkan.
Beberapa waktu yang lalu, di Universitas Bina Nusantara terjadi suatu gerakan dari sekelompok mahasiswa. Kelompok yang menamakan dirinya Forum Mahasiswa Peduli Kebijakan Kampus (FMPKK) menyatakan aspirasinya akan beberapa kebijakan kampus yang dinilai semena-mena. Kebijakan yang dituding secara khusus adalah kebijakan Drop Out (DO) yang bukan rahasia lagi mengancam cukup banyak mahasiswa.
FMPKK sendiri menyuarakan aksinya melalui beberapa jalan. Mereka sempat membuka Posko Peduli dan menggunakan cara-cara persuasif dalam mencari dukungan suara. Dalam perkembangannya, gerakan ini memuncak melalui gerakan bermalam di kampus dan menggunakan kekerasan—di antaranya pembakaran ban dan pemecahan kaca-kaca di Plaza Kampus Syahdan.
Menanggapi gerakan dari FMPKK ini, masyarakat Bina Nusantara terbelah ke beberapa kubu, ada yang mendukung mereka, ada yang tidak peduli dan ada yang bersikap tidak simpati ke mereka. Dari pihak kampus sendiri kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan permasalahan ini secara persuasif.
Menurut pandangan sekilas, kebanyakan masyarakat Bina Nusantara memberikan cap buruk kepada seluruh massa FMPKK. Memang beberapa tindakan beberapa anggota FMPKK dapat dikatakan anarkis dan kurang sesuai dengan label intelektual yang disandang mereka sebagai mahasiswa. Namun yang menjadi masalah adalah label itu kemudian dipasangkan secara global kepada keseluruhan anggota FMPKK.
Ibarat seorang fotografer yang ingin memotret suatu obyek, ia dapat memilih akan menggunakan lensa tele atau lensa makro. Menggunakan lensa tele, ia dapat mengambil obyek dari jarak jauh, namun hasil foto tidak akan sedetail penggunaan lensa makro. Menggunakan lensa makro, ia perlu mendekati obyek (yang seringkali berbahaya, atau dianggap berbahaya), namun hasil yang didapatkan akan jauh lebih mendetail dibandingkan penggunaan lensa tele. Demikian pula dengan banyak orang memandang FMPKK. Diakui atau tidak, banyak orang segera memasang label “brengsek” ke seluruh massa FMPKK—sementara mereka hanya mengamati dari jauh dengan “lensa tele”. Padahal jika mereka menggunakan “lensa makro” akan banyak detail yang mereka dapatkan. Detail apa? Detail bahwa tidak seluruh massa FMPKK pantas menyandang gelar “brengsek”.
“Tuan Penulis, tunggu dulu! Apa kriteria seseorang disebut brengsek atau tidak?,” timbul pertanyaan itu. Baiklah, kriteria ini memang perlu diperjelas dulu. Dalam kasus ini brengsek ditujukan untuk mereka yang (setelah melalui pengamatan mendalam) memang selama ini kurang bertanggungjawab atas perkuliahannya di BiNus dan kemudian bertindak anarkis.
“Memangnya ada massa FMPKK yang tidak berbuat seperti itu?,” pertanyaan yang segera muncul kemudian. Yang seringkali muncul di hadapan banyak orang memang kelihatannya selalu menyandang sikap beringas. Namun perlu diperhatikan bahwa mereka adalah orang yang itu-itu juga. Padahal FMPKK mengaku memiliki cukup banyak pendukung. Jadi kemana yang lain? Mereka memang tidak terlihat, karena hanya para dedengkot yang senantiasa terlihat. Dan bukan kebetulan para dedengkot itu pulalah yang bertindak anarkis dan memberikan cap tidak baik kepada semua dari mereka.
Banyak dari “pendukung yang tidak terlihat” ini sebenarnya memiliki keinginan kuliah yang tinggi—paling tidak terbukti dari absensi dan usaha mereka selama ini. Penulis sempat berkenalan dengan beberapa dari mereka dan penulis juga cukup mengetahui bagaimana kondisi mereka. Kalau begitu, kenapa mereka bisa mendapatkan nilai yang tidak memuaskan? Banyak hal, sebagai contoh keharusan mereka untuk membantu ekonomi orang tuanya—atau malah merekalah yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Atau keterbatasan mereka, baik dalam kemampuan otaknya (walaupun telah belajar mati-matian), kemampuan membeli pendukung belajar atau keterbatasan lainnya. Dengan kondisi yang seperti ini, apakah mereka dapat disalahkan?
“Jadi kenapa mereka kemudian mendukung FMPKK kalau tahu jalur yang ditempuh tidak baik?” Pertanyaan yang bagus, dan jawabannya (seharusnya) menyadarkan kita semua—termasuk saya. Karena mereka melihat tidak ada yang peduli terhadap nasib mereka. Bukan rahasia bahwa banyak yang memandang dengan sebelah mata kepada rekan-rekan yang berprestasi kurang baik. Dan bukan rahasia juga dalam keadaan seperti itu, kesemua organisasi mahasiswa yang ada di Kampus tidak memberikan perhatian kepada mereka. Wajar saja jikalau dalam keadaan mereka (yang tertekan) kemudian melihat FMPKK muncul sebagai sesuatu (yang mungkin) akan memperhatikan nasib mereka, mereka menumpukan segalanya kepada FMPKK.
Pada saat ini, gerakan FMPKK kelihatannya sudah mereda. Namun jumlah rekan-rekan kita yang terancam DO dengan alasan apapun tidak mereda. Pada saat ini juga sebenarnya kepedulian semua dari kita dibutuhkan. Kecuali jika memang kita ingin suatu gerakan seperti FMPKK terulang kembali dan semakin mencoret nama kita sebagai mahasiswa Universitas Bina Nusantara.
Tulisan ini pernah dimuat di Website Persekutuan Bina Nusantara