« Home | Saya Haus! » | Masih Adakah Harapan di Tengah-tengah Kita? » | Ketika Suatu Cap Diberikan Secara (Tidak) Adil » | Lee Kuan Yew » | Menengok Singapura Sejenak » | Antara Diktatorisme dan Demokra(tisa)si Keroyokan » | Friedrich Wilhelm Nietzche » | Anne Frank vs. Marsinah: Suatu Ketidakadilan Sebag... » | Terorisme, Lee Kuan Yew dan Indonesia » | Pers Menghadapi Tantangan Lingkungan »

V for Vendetta | S for Sagara

Ketika tiba saatnya berpisah, sungguh suatu saat yang ingin selalu dihindari. Ketika begitu banyak kata yang ingin diucapkan, namun sungguh sulit untuk menyatakannya. Emosi yang berkecamuk! “Jikalau dapat, baiklah ini tidak pernah terjadi. Jikalau dapat, lebih baik ini menjadi lembaran yang tidak pernah ada dalam hidup.” Kalimat yang meronta dalam pikiran dan perasaan saya.

Namun, itulah hidup. Tidak selamanya saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan. Tidak selamanya segala rencana saya berhasil. Itu pulalah kesempatan saya untuk berhenti sejenak dari segala pergumulan dan pemikiran yang sehari-harinya memenuhi segala penjuru benak saya. Disitu pula saya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menyadari, betapa banyak orang yang selama ini mendukung dan membantu saya menghadapi ombak yang saya hadapi. Bahkan dalam ombak perpisahan ini. Harus diakui, merupakan suatu tantangan yang besar. Dan ketika saya mengira saya akan dapat menjalaninya seorang diri, seperti apa yang saya paksakan pada diri saya sebelum ini, saya disadarkan akan banyaknya pribadi-pribadi yang menopang saya, bahkan ketika saya tidak berharap mereka ada untuk mendukung saya. Ada saja orang-orang yang ternyata dengan demikian tulusnya memberi dukungan kepada saya. Berbentuk email. Berbentuk waktu diskusi yang tulus. Berbentuk dukungan yang bermacam-macam. Bahkan walaupun mereka mungkin tidak tahu bahwa ada kecamuk dalam jiwa saya. Terima kasih rekan-rekan. Mungkin hanya itu kata-kata yang dapat saya katakan.

Disini saya belajar mengenai apa arti cinta itu sesungguhnya. Ketika saya diingatkan pada suatu diskusi saya dengan seorang rekan saya beberapa tahun yang lalu. Ketika ia merasakan kehampaan akibat penolakan cintanya. Ketika saya hanya dapat mengatakan: “mencintai tidak harus memiliki.” Ketika akhirnya saya sendiri harus merasakan arti kalimat tersebut—dan mencoba menjalaninya sendiri. Mungkin sebenarnya ketika itu saya juga sedang dipersiapkan untuk memahaminya, sesuatu yang kini lebih saya pahami. Ketika pada malam ini saya mendengarkan suara Steve Lukaether, vokalis Toto, salah satu grup band favorit saya menyanyikan I’ll Be Over You. Ketika saya diingatkan akan masa-masa manis—salah satunya ketika menonton konser Toto dan mendengarkan lagu itu dinyanyikan dan pikiran saya malah berkecamuk mengenai makna lagu itu. Ya, lagu yang menyadarkan saya bahwa dalam saya tetap dapat memperhatikan seseorang sebagai seorang sahabat kapanpun itu dan dalam kondisi apapun.

Dan untuk sahabat yang kini menempuh perjalanan yang berbeda dengan saya. Saya turut bergembira dengan pencapaianmu. Masa depan memang tidak dapat diterka, namun satu hal yang pasti, jika kau membutuhkan pertolongan, izinkanlah saya untuk membantumu.

Dalam waktu-waktu ini pula saya membalik-balik catatan saya atas buku V for Vendetta, ada satu kalimat yang langsung menusuk saya: Ideas are bulletproof. Mungkin masa-masa ini kesempatan saya untuk membuktikan hal lain: S for Sagara: Love is bulletproof!