Menengok Singapura Sejenak
Pemilihan Umum yang baru saja dilaksanakan kembali menempatkan Goh Chok Tong sebagai Perdana Menteri Singapura. Dengan kemenangannya kali ini berarti Goh masih mempertahankan posisinya sebagai Perdana Menteri kedua Singapura yang mulai memerintah sejak tahun 1991. Goh Chok Tong sendiri merupakan wakil dari People’s Action Party (PAP), partai dirian Perdana Menteri Senior Lee Kuan Yew yang memang sedari dulu menjadi partai politik dominan di Singapura.
Goh Chok Tong, pria kelahiran 1941 yang berasal dari daerah Pasir Panjang (Singapura) adalah lulusan University of Singapore yang kemudian meneruskan studinya dan mendapatkan titel master’s degree in economics dari William College (Massachussets). Awalnya setelah kelulusannya ini, Goh bekerja sebagai pegawai sipil di sebuah perusahaan perkapalan terkemuka di Singapura. Goh mulai menapakkan kakinya di dunia politik pada tahun 1946 dengan mewakili suara Marine Parade di parlemen. Dalam kiprahnya selama setahun tersebut, ia memenangkan posisi di kabinet sebagai Menteri Keuangan dan kemudian memegang posisi pemerintahan lainnya di perdagangan dan industri, pendidikan dan kesehatan. Lee Kuan Yew (sewaktu itu masih menjabat sebagai Perdana Menteri) kemudian memberikannya posisi sebagai Perdana Menteri Deputi dan Menteri Pertahanan. Pada tahun 1990, Lee Kuan Yew mengundurkan diri dan menunjuk Goh sebagai penggantinya di posisi Perdana Menteri. Pada Pemilihan Umum yang diadakan tahun 1991, partainya memenangkan 77 dari 88 kursi yang diperebutkan.
Pemerintahan Goh (seperti juga Lee), dikenal sebagai pemerintahan yang keras (bahkan terkadang terkesan “diktator”). Terlihat badan peradilan yang telah memegang peranan sepenuhnya tanpa pengaruh dari pihak luar, sehingga pada tahun 1994 ketika seorang warga Amerika Serikat tertangkap melakukan vandalisme, permohonan pembebasan dari (eks) Presiden Bill Clinton tidak dikabulkan. Hasilnya memang terlihat tingkat kriminalitas di Singapura sangat rendah—yang berakibat juga pada stabilitas negara ini.
Namun dibalik segala stabilitasnya, Singapura seringkali dikritik karena kekuatan PAP yang dinilai amat dominan dan kebebasan pers yang belum terwujud sepenuhnya. Sejak dahulu, PAP selalu memenangkan mayoritas kursi di parlemen. Kemenangan yang hampir dapat dipastikan akan selalu terwujud ini secara lama-kelamaan juga mematikan minat para voters untuk menyuarakan hak mereka. Pada Pemilihan Umum yang terakhir ini sebagai contohnya, diperkirakan hanya sekitar 33% dari seluruh warga yang berhak memilih menggunakan hak pilihnya. Situasi normal seperti tidak terlihat akan adanya Pemilihan Umum terlihat di Orchard Road—jalan protokol di Singapura—hingga saat-saat terakhir akan diadakannya Pemilihan Umum. Beberapa warga yang dimintai pendapatnya mengenai Pemilu ini bahkan mengatakan bahwa percuma saja menyuarakannya karena tidak ada yang dapat berubah dengan ikut sertanya mereka dan secara umum mereka telah puas dengan keadaan Singapura yang saat ini.
Memang Singapura telah lama dikenal sebagai salah satu negara dengan stabilitas dan kondisi kehidupan yang terbaik di dunia. Hal ini didukung oleh pemerintah yang memang solid untuk tujuan dan prinsip yang baik. Secara umum hal ini akan terlihat baik—paling tidak selama pemerintah masih dapat melihat apa yang menjadi visinya dan melakukannya, dan beritikad untuk maju. Namun seringkali dalam kondisi yang memicu terjadinya pandangan mapanisme, yaitu pandangan yang merasa kondisi saat ini telah mapan dan tidak menginginkan kemajuan lagi.
Kondisi mapanisme ini hampir dapat dipastikan juga menciptakan suasana yang tidak kondusif untuk lingkungan yang demokratis dan kebebasan pers dimana masyarakat dapat menyuarakan pendapat dan harapannya terhadap pemerintahan yang terjadi.
Yang menjadi pertanyaan adalah ketika Singapura di tengah kondisi yang (mungkin) kurang baik ini tetap dapat melaksanakan visinya dan memajukan negara, akankah suatu negara (atau organisasi) lain yang telah berpandangan seperti ini (walaupun mungkin tidak disadari) akan dapat tetap memajukan pribadinya. Jelas kondisi ini akan membuka peluang lebar bagi gerakan koncoisme dan gerakan koncoisme juga berarti sumber daya manusia yang diambil hanya berasal dari kalangan yang itu-itu juga. Apakah kalangan ini mampu untuk selalu menyediakan tenaga yang memang berpotensi, tidak hanya dari kualitas tapi juga dari kuantitas? Terlebih jika kemudian di tengah keadaan yang sebenarnya sudah serba berkekurangan tenaga ini, pihak penguasa masih tetap mengenakan “jaket kekuasaannya” untuk tetap tidak mempedulikan pihak lain (termasuk oposisi)? Singapura masih tetap bertahan dalam kemajuannya saat ini (dan saya berharap Singapura dapat tetap maju) namun entah bagaimana dengan organisasi lainnya. Suatu pertanyaan yang dapat dikembalikan kepada masing-masing pemerintah di organisasi tersebut.