Sunday, October 29, 2006

Parakan

Secara fisik, cukup banyak perubahan yang saya lihat ketika saya akhirnya menginjakkan kaki kembali di kota ini—setelah sekitar 1 tahun lebih saya tidak mengunjunginya. Terlihat semakin banyak pengaruh dari globalisasi dan modernisasi di kota ini, kota yang dulunya sederhana sekali. Beberapa minimarket mulai menjamur. Toko handphone yang sepertinya kini menjadi simbol suatu kota, juga terlihat menjamur di kota ini—saya bahkan sempat membeli kartu perdana di salah satu toko yang ada. Terasa ada perubahan di kota ini. Entah itu menuju ke arah yang positif atau malah ke arah yang negatif.

Akan tetapi di tengah perubahan ini saya masih dapat merasakan kehangatan pribadi-pribadi di kota ini. Masih ada Om Gin yang berdagang di toko sebelah yang masih tetap mengingat saya. Dan masih tetap rajin menanyakan kabar saya walaupun seingat saya sebenarnya beberapa pertanyaan yang diajukannya kali ini sebenarnya pernah saya jawab dengan jawaban yang sama persis tahun lalu :). Masih ada seorang tetua di kota ini yang masih ingat ke saya (bahkan ketika saya sebenarnya sudah lupa namanya—kelewatan banget sih saya). Dan masih ada segudang pribadi-pribadi lain yang kehadirannya pernah menyentuh dan mempengaruhi hidup saya di kota ini.

Terlepas dari semua kondisi kota ini dengan pribadi-pribadinya (yang bukan menjadi inner circle saya), kota ini tetap menjadi kota yang bernilai bagi saya. Dipastikan bahwa kota ini pasti menjadi lokasi bersua dengan sepupu-sepupu saya (yang lagi-lagi, jarang dapat saya temui. Sepertinya saya memang paling sulit untuk dapat berkumpul). Kota ini yang selalu berperan menyatukan/mempertemukan kami, dan membuat kejutan bagi saya dengan memperlihatkan betapa bertumbuhnya sepupu-sepupu saya itu—terlebih 2 sepupu yang ketika kecilnya dapat dikatakan cukup akrab dengan saya.

Permasalahannya, apakah memang saya dapat tinggal dan kerasan di kota ini (dan kota-kota sejenisnya?). Terus terang, setiap kali ada di Parakan, pekerjaan saya sehari-hari dapat ditebak: pagi sarapan nasi rames di Mbok Carik atau soto di pasar; seharian nonton TV atau tidur; malam makan nasi goreng kambing atau mie godog di seberang jalan. Keseharian Parakan memang menawarkan sejuta kesempatan untuk bermalas-malasan untuk orang-orang perkotaan. Dengan udara yang sejuk dan makanan yang, hmmmm, enak-enak namun murah, sepertinya godaan untuk menjadi tidak produktif sangat besar. Dan dapat dikatakan saya selalu kalah ke godaan ini tiap kali ada di Parakan. Konyolnya, dalam hati kecil saya tidak menikmatinya, tapi secara fisik saya mengikuti godaan tersebut. Daging memang lemah....

Beruntung juga saat ini (akhirnya) saya memiliki ThinkPad yang dapat menemani saya ketika mencoba membuat tulisan atau pekerjaan lain untuk mengupayakan produktivitas di waktu-waktu ini. Padahal sebenarnya dalam hati kecil, dari dulu tidak adanya kegiatan ini sangat mengganggu tiap kali ada disini.

Sepertinya memang kesibukan di Jakarta selama ini telah membuat saya menjadi orang yang memiliki ketergantungan ke kegiatan. Kegiatan’o’holic (???). Mungkin ada baiknya saya melihat teman saya yang pernah mengatakan: istirahat adalah proyek ketaatan. Satu hal yang saya lihat telah dipelajarinya (setelah sebelumnya kami berdua sama-sama orang yang tidak bisa diam).

Lucky Man

Hari Jumat kemarin saya dan sekumpulan teman (beberapa di antaranya baru hari itu saya kenal), mengikuti acara kebersamaan di Ancol. Di mobil dalam perjalanan menuju ke lokasi, entah dimulai dari mana, ada beberapa rekan yang memperbincangkan lokasi kerja masing-masing. Dan entah dari mana pula, AHM disebut-sebut. Kebanyakan dari rekan semobil belum mengetahui kalau saya bekerja di AHM. Dan ada dari rekan tersebut yang melontarkan keinginannya untuk sebenarnya bekerja di AHM. Menurutnya, bekerja di sana pasti “enak”, dengan segala jaminan kesejahteraan.

Mendengarnya saya hanya diam, karena rasanya agak tidak etis ketika dalam kondisi ia sedang menceritakan anganannya, mendadak saya memproklamirkan keberadaan saya yang bekerja di AHM.

Hanya saja saya jadi memikirkan, merefleksikan pengalaman kerja saya selama ini. Bersyukur sekali bahwa saat ini Tuhan telah mempercayakan saya untuk dapat berkarya di AHM. Terutama melihat histori pengalaman kerja saya.

Ya, saya sebelumnya pernah bekerja di beberapa perusahaan dengan kultur kerjanya masing-masing. Mulai dari sebuah perusahaan start-up yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan tender yang diikutinya, perusahaan dalam salah satu grup media terbesar di Indonesia yang saat ini telah terjebak dalam perangkap kemapanannya, hingga akhirnya di AHM dengan beban kerja yang cukup tinggi (namun menyenangkan) dan tantangan yang membludak.

Satu hal yang sangat saya syukuri bahwa dengan demikian saya dapat melihat berbagai metode manajemen perusahaan di Indonesia. Dan dapat mengambil plus-minus masing-masing.

Saya juga belajar untuk mengalami perubahan lingkungan kerja yang terkadang cukup drastis—seperti ketika pindah ke AHM. Perusahaan tempat saya bekerja sebelum AHM adalah perusahaan mapan, sudah cukup tua (kalau tidak salah, ketika saya meninggalkan perusahaan itu, ia baru saja berulang tahun ke-25). Dalam sejarahnya, perusahaan itu sempat sangat berkilau, menjadi market leader di bidang-bidang yang diterjuninya. Namun kini terlihat bahwa prestasi itu mulai memudar. Penjualannya dari tahun ke tahun terus mengalami kemandekan, termasuk juga pangsa pasarnya yang semakin mengecil.Saya melihat bagaimana ide-ide baru yang sebenarnya dapat menyegarkan kinerja perusahaan selalu ditolak dengan alasan klise: itu bukan gaya kami menjalankan bisnis. Saya melihat bagaimana generasi tua yang tetap berpakem pada gaya menjalankan bisnis lama memaksakan metode manajemen yang sudah tidak valid ke lingkungan bisnis saat ini yang sangat cepat dan bergejolak (tentunya tidak semua orang dari generasi tua berpandangan seperti ini). Namun yang terparah adalah ketika saya melihat tidak adanya penghargaan atas hasil kerja seseorang. Orang yang bekerja keras dan yang tidak bekerja sama sekali dianggap sama—bahkan terkadang orang yang tidak bekerja dianggap lebih daripada orang yang telah bekerja maksimal. Akibatnya tentu saja, tidak ada semangat kerja dari karyawan perusahaan tersebut—satu hal yang sempat menyerang saya juga di perusahaan tersebut.

Sempat terjadi sedikit goncangan ketika saya pindah ke AHM. Seperti dibalik total. Big bang, kalau kata orang astronomi. Perubahan yang radikal dan sangat cepat! Bukan suatu hal yang aneh untuk bekerja hingga larut malam atau malah menginap di kantor di AHM. Namun sepertinya justru lingkungan seperti ini yang saya senangi. Terlebih dengan kesempatan saya untuk belajar—dan belajar lagi.

Saya juga sempat melihat turn-around yang dilakukan perusahaan dalam kaitannya dengan penurunan produksi dan penjualan, suatu kondisi yang dihadapi semua perusahaan otomotif (termasuk Astra Group) di tengah kemerosotan daya beli masyarakat seiring dengan kenaikan harga BBM dan kebutuhan lainnya. Terlebih saat itu AHM cukup ditekan oleh kompetitor yang meluncurkan berbagai produk baru yang cukup inovatif. Kondisi yang sama dengan yang terjadi di perusahaan lama—kompetitor yang agresif dan bertambah secara jumlah sehingga persainansemakin memanas. Bedanya, perusahaan lama tetap bertahan dengan produk-produknya yang telah ada dan mengambil strategi untuk membanjiri pasar dengan produk-produk yang belum tentu laku (selama produk itu masih berlabelkan mereknya). Sementara itu AHM mengambil langkah dengan meluncurkan beberapa produk, beberapa di antaranya merupakan pengembangan dan improvement atas produk-produk lamanya yang cukup diterima pasar dan juga produk-produk yang memang baru sama sekali dan sesuai dengan tren pasar. Hasilnya, terbukti AHM kembali merebut pangsa pasar di daerah-daerah dimana posisinya sebagai market leader sempat tergoyahkan. Sedangkan bagi saya, kesempatan untuk membandingkan strategi yang diambil masing-masing perusahaan dalam menghadapi era kompetisi agresif ini.

Satu hal yang menarik bahwa di perusahaan ini saya berkesempatan untuk melihat gabungan dari dua corporate culture, budaya Astra yang berakar dari Indonesia dengan manajemen profesional bergabung dengan budaya Jepang-nya Honda. Lebih lagi ketika saya diterjunkan dalam proyek implementasi SAP di AHM. Bekerja sama dengan pihak luar AHM, dalam hal ini SAP Indonesia, Accenture, dan beberapa pihak lain. Budaya apalagi yang mereka bawa? Perusahaan-perusahaan multination dengan investor dari Jerman, Amerika, dan negara-negara lain. Kesempatan lagi untuk belajar mengenai budaya kerja beberapa perusahaan—kesempatan untuk membukakan mata lagi. Setelah di perusahaan sebelumnya yang cenderung menutup diri terhadap perusahaan lain sementara perusahaan diwarnai dengan sangat kental oleh budaya primodial Jawa. Akibatnya kesempatan untuk melihat dan belajar dari pihak lain sangat minim.

Pernah saya bertanya-tanya, kenapa tidak dari dulu saya berkesempatan untuk bekerja di perusahaan sekelas AHM? Dulu rasanya seringkali agak minder melihat beberapa rekan saya dapat bekerja di perusahaan yang notabene lebih wow dari perusahaan tempat saya bekerja (sebelum AHM). Tapi akhirnya melalui perjalanan ini saya dapat melihat bahwa melalui perusahaan-perusahaan lama itu saya memiliki kesempatan belajar sesuatu yang mungkin tidak pernah dirasakan rekan-rekan saya yang langsung bekerja di perusahaan besar. Kesempatan untuk melihat betapa beruntungnya dapat bekerja di perusahaan besar dengan jaminan kesejahteraan dan sistem kerja yang jelas. Sekarang beberapa rekan saya yang dulu bekerja di perusahaan besar itu malah kadang “iri” ke kesempatan saya bekerja di AHM.

Overall, I consider myself a lucky man.

Sunday, October 22, 2006

Perubahan Semu

Comal, 22 Oktober 2006, di tengah perjalanan ke Parakan

Sekitar 5 bulan yang lalu saya melihat adanya suatu kesalahan dalam sistem manajemen usaha yang saya rintis bersama beberapa rekan-rekan saya. Kondisi lama menyebabkan kami tidak dapat melihat progress yang telah kami lakukan dengan tepat dan mengurangi keakuratan kami dalam menganalisa problem yang dihadapi serta langkah-langkah yang harus dilakukan.

Beberapa malam saya memikirkan kondisi tersebut dan mencoba merumuskan solusinya. Mulai berpikir seperti seorang Associate di McKinsey :). Pada akhirnya memang saya berhasil merancang beberapa perangkat manajemen dan standarisasi yang dapat membantu kami dalam menjalankan bisnis ke depannya. Dengan kata lain, melakukan perubahan dalam proses bisnis kami.

Dengan bangga dan bersemangat saya mempresentasikannya di depan rekan-rekan. Dengan berapi-api saya mengajarkan rekan-rekan untuk mulai menggunakannya, termasuk memperlihatkan kegunaannya ke depan.

Semua setuju! Semua mulai menggunakannya! Menyenangkan sekali.

Akan tetapi saya lupa bahwa perangkat yang saya bawakan tadi dan cara saya membawakannya hanya akan mengatasi masalah tangible dari proses kami. Saya lupa bahwa perangkat tersebut tetap tidak berdaya ketika semangat dasar dari manusia yang menjalankannya belum mempunyai sense of belonging dan urgensi dari perangkat tersebut.

Alhasil, dalam minggu-minggu pertama memang perangkat tersebut sangat membantu, tapi selanjutnya mulai terlihat bahwa perangkat tersebut menjadi kurang menggigit. Digunakan masih, namun dalam kedalaman yang berkurang dibandingkan awal-awalnya.

Ini juga yang sering terjadi dalam kehidupan manusia Kristen sehari-hari. Pada awal kebangunan rohaninya, sering terlihat bersemangat, berapi-api. Tapi apakah memang perubahan tersebut benar-benar perubahan mendasar, perubahan yang mencakup sisi-sisi tersembunyi dari personal tersebut atau baru menyentuh sisi tangible-nya saja?

Seorang Pemimpin Kelompok Kecil saya bahkan pernah berkata bahwa ia tidak begitu percaya pada orang-orang yang “dimenangkan” melalui Kebaktian Kebangunan Rohani. Alasannya: suasana dalam kebaktian seperti itu seringkali sudah mempermainkan emosi dahulu sehingga “komitmen” yang diambil dalam kondisi itu adalah komitmen yang sudah diwarnai emosi, bukan komitmen yang murni. Akibatnya yah seperti perangkat manajemen saya tadi, hanya ada di waktu-waktu awal, sesudah itu akan mati sendiri.

Saatnya kita bertanya, apakah memang kita sudah berubah atau hanya melalui suatu perubahan semu belaka?

Friday, October 20, 2006

Refleksi Pra Liburan

Beberapa minggu ini agak melelahkan secara emosional. Ada beberapa hal yang membuat saya hampir kehilangan kontrol kemarahan. Untungnya sebatas hampir.

Karenanya, kedatangan liburan minggu depan seharusnya menjadi suatu kesempatan untuk sejenak menarik dan menenangkan diri.

Cukup senang juga rasanya kalau membayangkan bisa bertemu dengan sepupu-sepupu yang sudah lama tidak bersua. Kalau dilihat dari sejarah, sepertinya memang dalam keluarga besar, saya yang paling jarang berkesempatan untuk berkumpul dengan anggota keluarga besar yang lain. Sepertinya hampir selalu ada kesibukan atau hal lain yang membuat saya terhalang untuk ikut serta ke Jawa Tengah.

Menengok apa yang terjadi satu bulan terakhir ini, dengan segala tekanan yang saya terima, mendekati liburan ini ketika saya berkaca pada kejadian-kejadian yang rasanya berlangsung sangat cepat, mulai terlihat banyak hal positif yang dapat saya rasakan melalui segala kejadian itu. Dan bersyukur juga bahwa kejadian-kejadian itu terjadi mendekati liburan ini.

Dalam liburan ini seharusnya saya bisa lebih berkonsentrasi pada keluarga dan saya, bukan pada sesuatu yang “belum jelas” seperti pada liburan-liburan sebelumnya. Ada pergantian suasana, ada pula pergantian warna hidup :). Ketika saya mencoba melihat kembali ke belakang, beberapa tahun ini memang telah terjadi pergeseran pola hidup. Ada yang lebih baik, namun ada pula yang lebih buruk. Satu hal yang terasa, manusia pembelajar yang dulu ada, sempat tertekan sama sekali. Akibatnya, dalam beberapa tahun ini sangat sedikit kemajuan ilmu yang saya peroleh.

Seharusnya segala yang terjadi dan paduannya dengan liburan ini menjadi kesempatan saya untuk mengisi diri lebih lagi. Dan menuangkannya kembali dalam hidup keseharian (termasuk tulisan).

Di Antara Beberapa Pilihan

Mana yang akan saya ambil?

  • Kursus Bahasa Prancis di CCF
  • Kursus Bahasa Jerman di Goethe Institut
  • Kursus Mandarin (belum tahu dimana)
  • Kuliah S2 lagi (rencananya ambil Marketing Management)
  • Atau kegiatan lain?

Perlu dipikirkan juga mengenai rencana untuk lebih aktif di Pemuda Kayu Putih.

Semoga Hikmat itu datang dan menerangiku dalam mengambil keputusan.

Tuesday, October 17, 2006

What A Team

Sudah cukup lama tidak membuat posting baru di blog ini.

Sebenarnya cukup banyak hal yang ingin saya tulis, tapi lagi-lagi kendala waktu (dan kadang juga kendala kemalasan yang muncul mendadak). Minggu-minggu ini suasana liburan sudah mulai terasa di kantor. Beberapa rekan terlihat sudah mulai kehilangan konsentrasi, beberapa terlihat masih dapat berkomitmen pada pekerjaannya.

Tapi yang benar-benar menjadi perhatian saya, betapa ternyata saya dapat menemukan tim yang anggota-anggotanya (walaupun harus diakui tidak seluruhnya), merupakan orang-orang yang memberikan dukungan positif pada saya.

Mereka tidak hanya mendukung dalam hal pekerjaan. Bahkan dalam satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya, ternyata mereka mau membantu saya. Satu hal dimana saya memang tidak memiliki kompetensi.

Semoga saja saya dapat membuktikan bahwa usaha mereka membantu tersebut tidaklah sia-sia. Kegentaran memang ada, tapi bukan berarti kegentaran itu harus membuat kaki terpatok tanpa dapat melangkah.

Unpleasant Dream

I had an unpleasant dream yesterday. One corresponding to a struggling I though I have already handle accordingly.

Is this a sign that I haven’t overcome it yet? Well, face it I must if hasn’t truly overcomes it yet I had.

Eksistensi

Sebuah komunitas baru di mana saya baru saja menerjunkan diri. Sebuah komunitas yang saya sesali, kenapa tidak dari dahulu saya berani menceburkan diri ke dalamnya.

Sebuah komunitas di mana dulu saya berpikiran, apakah saya dapat menyumbangkan sesuatu ke dalamnya. Sebab ada di dalam suatu komunitas tanpa memiliki pengaruh pada dasarnya adalah tidak ada.

Hanya dalam 3 minggu saya telah menemukan teman-teman baru. Dan yang tidak kalah pentingnya, saya juga merasakan bahwa saya ada dan dapat menyumbangkan sesuatu di dalamnya. Sejujurnya merupakan sesuatu yang awalnya sulit saya bayangkan. Dengan kondisi awal di mana saya masih buta sama sekali, dalam waktu singkat ini mereka telah mau memberikan kepercayaan yang cukup besar pada saya. Semoga saya tidak mengecewakan kepercayaan mereka pada saya.

Masih banyak yang perlu saya pelajari di komunitas ini. Masih banyak pula yang dapat saya sumbangkan untuk komunitas ini. Jika saya memang memiliki eksistensi di dalamnya.

Thursday, October 05, 2006

B 3459 EK vs B 6930 UET

Dua nomor di atas bukan nomor buntut. Keduanya nomor polisi motor saya.

Yang satu motor lama, yang satu motor baru.

Yang lama sudah dimiliki sekitar 3,5 tahun. Yang baru sekitar 3 minggu.

Yang lama Supra X 100 cc. Yang baru Supra X 125 cc (so pasti dua-duanya Honda).

Kalau bisa, saya ingin menjual yang lama. Soalnya carport di rumah jadi penuh dengan adanya dua motor ini.

Tapi mengingat-ingat masa-masa yang lalu, segudang kenangan dengan B 3459 EK, kadang agak sulit juga berpisah dengannya. Motor pertama yang saya miliki. Motor pertama yang jadi korban saya jatuh (beberapa kali, nggak cuma sekali). Motor yang sudah menemani saya berkeliling Jakarta (bahkan sampai Tangerang). Motor yang jadi andalan saya untuk antar-jemput seseorang :) (dulu).

Konyol memang, karena sebenarnya dengan adanya B 6930 UET, kebutuhan saya akan B 3459 EK bisa dibilang sudah tidak ada. Kencang larinya? Jelas lebih kencang B 6930 UET. Tarikannya, kontrolnya, semuanya pasti menang B 6930 UET. Bahkan kemarin ketika saya iseng coba menggunakan B 3459 EK lagi, koq terasa ”agak kebanting” setelah beberapa hari terbiasa menggunakan B 6930 UET. Tapi koq tetap saja ada sesuatu yang tidak bisa digantikan B 6930 UET dari B 3459 EK.

Memori memang menjadi salah satu aspek emosional manusia. Nah, kalau ke motor atau ke benda-benda saja kita bisa punya keterikatan emosional, bagaimana dengan keterikatan emosional terhadap manusia lain? Padahal kita harus ingat, bagaimanapun kita tidak dapat selamanya bersua dengan benda atau orang itu. Cuma sementara, karena tetap saja semuanya kembali ke Yang Di Atas.

Sikap legowo untuk dapat melepaskan sesuatu terkadang memang sulit. Apalagi jika kita sudah sebegitu terikatnya ke sesuatu itu. Seorang pendeta di GKI Kayu Putih pernah berkata, ”semakin kita merasa memiliki, semakin sulit untuk melepasnya. Semakin besar luka yang ditimbulkan ketika kita terpaksa melepaskannya.”

Padahal kalau dipikir-pikir, sebenarnyaseringkali karena berusaha keras mempertahankan yang lama, akhirnya berkat lain yang seharusnya dapat kita nikmati dengan lebih maksimal malah jadi terbatas. Yah seperti motor itu. Gara-gara sulit berpisah, kadang-kadang saya masih menggunakan B 3459 EK. Akibatnya berkat dimana saya dapat mengutilisasi B 6930 UET dengan maksimal pun tidak dapat digunakan maksimal.

Jadi yah begitu, sebenarnya tulisan ini saya buat untuk membantu melepaskan diri dari B 3459 EK dengan segala kenangan indah (dan pahitnya). Serta membantu saya juga untuk berlatih bersikap legowo, tidak hanya terhadap B 3459 EK, tapi terhadap segala bentuk keterikatan saya yang lainnya.

Sambil tentu saja, menunggu calon pembeli B 3459 EK. Tertarik untuk membelinya?

Selamat Ulang Tahun

Hari ini Tuhan kembali menunjukkan kemurahan hatiNya dengan memberi saya satu tahun lagi kesempatan berkarya di dunia ini. Satu tahun yang bukanlah waktu yang panjang, menjadi bertanya-tanya... selama setahun yang lalu ini, apa saja karya saya sebenarnya? Lebih banyak karya positif atau malah karya destruktif?

Cukup banyak kerabat, teman dan rekan yang mengucapkan ulang tahun. Sarananya juga bermacam-macam, ada yang langsung, menggunakan SMS, maupun menelepon. Tapi yang saya bingung koq tidak ada yang menggunakan Messenger ya? Padahal tiap hari saya selalu online dan beberapa teman saya yang menggunakan sarana lain sebenarnya juga online di Messenger. Mungkin agar lebih berkesan ya? (GR).

Tapi di balik semua ucapan selamat itu, lagi-lagi saya dipertanyakan: apakah sebenarnya memang saya layak menerima ucapan ini? Selamat Ulang Tahun bukanlah ucapan selamat atas suatu prestasi tersendiri, tidak seperti ucapan selamat pada wisuda, kenaikan pangkat, atau selamat menikah. Hidup memang merupakan tantangan, tapi apakah sebuah ulang tahun tanpa adanya prestasi hidup yang memperlihatkan kualitas sang pribadi merupakan suatu pencapaian yang layak diberi selamat?

Kalau memang ada orang yang layak diberi selamat pada hari ulang tahun saya, saya rasa orang itu adalah kedua orang tua saya. Dari awal, jelas mereka yang memiliki prestasi hingga saya ada seperti sekarang. Pertanyaannya pada saya adalah: bagaimana agar dari tahun ke tahun, ucapan selamat ulang tahun ini tidak menjadi ucapan yang kosong belaka?

Wednesday, October 04, 2006

365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan

Hari Minggu yang lalu teman-teman saya memberikan hadiah buku 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan tulisan alm. Pdt. Eka Darmaputera. Agak lucu juga sebenarnya karena di dekat ulang tahun saya, ada yang memberikan buku yang dulu saya berikan sebagai kado ulang tahun Papa saya.

Yang pasti, senang rasanya karena berarti saya memang ada bagi teman-teman saya. Bukan nilai hadiahnya yang menjadi inti, tapi dengan pemberian ini dan kata-kata yang diucapkan waktu memberikannya... jadi sumringah :). Thks rekan.

Dibalik kegembiraan ini, juga diingatkan akan ”kewajiban” yang diikutsertakan: tidak menyia-nyiakan bacaan yang sedemikian bernilai. Berarti harus bikin prioritas bacaan nih, berhubung sudah ada beberapa buku lain yang sebenarnya juga menunggu untuk diselesaikan.

Change

Only two options: Change or Be Changed!

Your choice???

Monday, October 02, 2006

Give and Receive

Sebuah prosa singkat yang ditulis oleh Jean M Bridges dan saya terima dari Rhenald Kasali di sela-sela bedah buku Change!-nya.

You must always be prepared to give life that which you wish to receive.

If you hope to gain happiness, love and security—then you must give happiness, love and security in return.

If you thrive on hatred, pain and jealously—then so shall you receive.

For you must respect life as you in turn seek respect.

You can only succeed if you give that which is borne to success.

For, as the lives of each of us are dependent—one upon the other.

You must learn to feel for the lives of other as you feel for yourself.

Then, and only then, can you feel—and know—the true meaning of love-life and true self Happiness

Cinta Dinyatakan dengan Banyak Cara

Cinta dinyatakan dengan banyak cara
Ada yang menyatakannya dengan bunga
Ada yang memberikan harta kekayaan
Ada yang memberikan hanya ciuman

Cinta memang peristiwa ajaib insani
Sulit diterangkan dengan akal sehat
Sulit juga diterangkan dengan kata
Sebab cinta tumbuh dan dalam sukma

Ada cinta karena nafsu
Ada cinta karena iba
Ada cinta tanpa alasan
Ada cinta yang mengada-ada

Jika cinta dinyatakan dengan benda
Jika cinta dinyatakan dengan harta
Jika cinta bukan tumbuh dan nurani
Apa yang dapat diperoleh darinya?

100% Complete Generation

Satu minggu yang cukup melelahkan. Satu minggu yang sangat berarti karena terobosan-terobosan baru yang berhasil dicapai. Bukan dalam masalah pekerjaan kantor—karena itu merupakan kewajiban (ingat, kaizen, kaizen, kaizen! Semangat di Honda yang harus dipertahankan).

Terobosan yang saya capai: menemukan banyak rekan dan teman baru! Suatu tantangan yang cukup sulit bagi seorang berkategori INTJ menurut Briggs-Meyer. Dan teman ini saya temukan dalam lingkungan yang cukup positif, tidak ekstrim ke duniawi maupun ekstrim ke lingkup rohani (seperti yang seringkali saya temukan dan sulit untuk dihargai).

Semoga saja ini dapat menjadi awal dari suatu hubungan teman yang dapat dikembangkan menjadi sahabat! Paling tidak menjadi tempat dimana saya dapat berkontribusi aktif.

Creating Land of Golden Opportunity

Posting ini bukan berisi tips dan trik mengenai cara membuat ”tanah emas”! Posting ini hanyalah luapan perasaan saya setelah mengambil langkah untuk mencoba kembali menggali ilmu dalam setumpuk buku yang menggunung (bagaikan kumpulan buku di kamar Evey dalam V for Vendetta).

Bukan kebetulan buku pertama yang saya lahap dalam minggu ini merupakan buku yang mengulas perkembangan, terutama dari sisi marketing, mengenai daerah tinggal saya, Kelapa Gading, yang dikembangkan oleh PT Sumarecon Agung.

Untuk saya pribadi, sebenarnya isi buku ini tidaklah terlalu berat dan hampir tidak ada isu marketing yang benar-benar baru yang dapat ditemukan dalam buku ini. Namun sebagai suatu starter sebelum memulai wisata buku, cukuplah untuk memanaskan mesin, terlebih mengingat beberapa buku yang sudah masuk antrian termasuk buku-buku dengan kategori cukup berat.

Satu hal yang pasti, ada beberapa poin dalam buku ini yang menambah khasanah saya untuk semakin memahami tipikal konsumen di Kelapa Gading. Semoga saja dapat diaplikasikan dalam rencana business process reenginering di Lontar.